Tradisi Pemakaman Trunyan Bali yang Tetap Terjaga Hingga Kini

Tulang tengkorak di Desa Trunyan
Sumber :
  • https://www.instagram.com/p/BeVTC_vjsxB/?igsh=bHFmejJuNmpudGR0

Budaya, VIVA Bali – Jika Anda berkunjung ke Bali, biasanya yang terbayang adalah pantai, pura, atau pesta seni budaya. Namun, di balik keindahan itu, ada sebuah desa yang menyimpan tradisi unik dan jarang ditemui di tempat lain, yaitu Desa Trunyan. Terletak di tepi Danau Batur, Kabupaten Bangli, desa ini menjadi saksi dari sebuah ritual pemakaman kuno yang membuat banyak orang penasaran. Masyarakat setempat menyebutnya pemakaman Trunyan.

Tradisi Pemakaman yang Tidak Biasa

Cakalele, Getaran Jiwa Maluku dari Masa ke Masa

Berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya yang melaksanakan Ngaben atau kremasi, warga Desa Trunyan memiliki cara tersendiri untuk menghormati orang yang meninggal. Jenazah tidak dikubur atau dibakar, melainkan diletakkan begitu saja di atas tanah, di bawah pohon besar yang disebut pohon Taru Menyan. Jenazah tersebut diletakkan dalam posisi tertutup anyaman bambu agar tidak diacak-acak hewan.

Bagi sebagian orang, cara ini terdengar menakutkan. Namun bagi masyarakat Trunyan, inilah bentuk penghormatan paling luhur. Mereka percaya bahwa tubuh hanyalah jasad yang akan kembali ke bumi, sementara roh manusia akan kembali ke asalnya.

Pohon Taru Menyan Sang Pembersih Alam

Sejarah dan Filosofi Tari Piring dari Minangkabau

Keunikan terbesar dari pemakaman ini adalah keberadaan pohon Taru Menyan. Pohon ini tumbuh di area pemakaman dan dipercaya memiliki kemampuan luar biasa: menyerap bau busuk dari jenazah. Meskipun ada banyak mayat yang dibiarkan terbuka, area pemakaman tetap tidak mengeluarkan bau menyengat.

Nama Trunyan sendiri berasal dari gabungan kata "Taru" (pohon) dan "Menyan" (harum). Inilah yang menjadikan ritual pemakaman ini berbeda dan menyimpan misteri hingga kini. Banyak peneliti maupun wisatawan heran bagaimana pohon ini bisa menetralisir bau, padahal secara logika seharusnya ada aroma yang kuat.

Filosofi Kehidupan dan Kematian

Reog Kendang Tulungagung, Warisan Seni yang Tetap Hidup

Tradisi ini tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga sarat makna. Masyarakat Trunyan meyakini bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari alam semesta. Dengan mengembalikan tubuh kepada bumi tanpa membakarnya, mereka percaya tercipta keseimbangan antara manusia, alam, dan roh leluhur.

Bagi mereka, kematian bukanlah akhir, melainkan perjalanan menuju kehidupan yang lain. Itulah sebabnya, pemakaman ini dipenuhi simbol penghormatan. Di sisi jenazah, sering diletakkan sesaji seperti bunga, makanan, dan benda pribadi yang dulu dimiliki almarhum. Semua ini melambangkan penghormatan terakhir sekaligus doa agar roh bisa tenang.

Aturan Pemakaman yang Ketat

Tidak semua orang bisa dimakamkan di Trunyan. Hanya mereka yang meninggal secara wajar yang dapat dimakamkan dengan cara ini. Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, penyakit menular, atau kondisi tidak biasa, maka prosesi pemakamannya akan dilakukan dengan cara berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kesucian area pemakaman sekaligus menghormati adat yang sudah diwariskan turun-temurun.

Wisata Budaya yang Memikat Dunia

Kini, pemakaman Trunyan menjadi salah satu daya tarik wisata budaya di Bali. Banyak wisatawan lokal maupun mancanegara datang untuk melihat langsung tradisi kuno ini. Namun, kunjungan ke pemakaman tidak bisa sembarangan. Para pemandu lokal selalu mengingatkan wisatawan untuk menjaga sikap, berpakaian sopan, dan tidak bersikap seenaknya di area sakral ini.

Pemakaman Trunyan menjadi bukti nyata bahwa budaya bukan hanya warisan masa lalu, melainkan juga identitas yang harus dijaga untuk masa depan. Tradisi ini mengingatkan kita bahwa kematian adalah bagian alami dari kehidupan, dan alam selalu punya cara untuk menjaga keseimbangannya.