Krisis Gizi Anak di Indonesia Masalah Serius yang Tak Bisa Diabaikan
- https://www.care.org/news-and-stories/thel-latest-from-the-worst-humanitarian-crisis-on-earth-sudan/
Lifestyle, VIVA Bali– Ancaman Gizi Buruk yang Masih Membayangi
Kondisi gizi anak di Indonesia masih menjadi perhatian serius di tengah berbagai upaya pembangunan nasional. Berdasarkan data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2023 oleh Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting nasional masih berada di angka 21,5%. Angka ini menunjukkan bahwa satu dari lima anak Indonesia mengalami pertumbuhan terhambat. Padahal, stunting bukan sekadar masalah tinggi badan, melainkan juga berdampak jangka panjang pada kecerdasan, produktivitas, dan kualitas hidup anak di masa depan.
Stunting, wasting, dan underweight adalah tiga indikator utama yang mencerminkan status gizi anak. Sayangnya, ketiganya masih menunjukkan angka signifikan di sejumlah provinsi. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, prevalensi stunting mencapai 35%, menjadikannya salah satu daerah dengan beban tertinggi di Indonesia. Sementara itu, wilayah lain seperti Papua Barat Daya dan Sulawesi Barat juga masih mencatat angka gizi buruk yang mengkhawatirkan.
Faktor Penyebab Bukan Hanya Soal Makanan
Banyak yang mengira bahwa gizi buruk hanya disebabkan oleh kurangnya asupan makanan. Nyatanya, persoalan ini jauh lebih kompleks. Masalah sanitasi, air bersih, kebersihan lingkungan, edukasi gizi, dan akses layanan kesehatan juga memainkan peran besar. Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa masih banyak keluarga yang belum memahami pentingnya pola makan seimbang, terutama bagi ibu hamil dan balita.
Keterbatasan ekonomi juga berkontribusi besar terhadap tingginya angka gizi buruk. Keluarga dari kelompok ekonomi bawah cenderung memiliki akses yang terbatas terhadap makanan bergizi, fasilitas kesehatan, serta informasi yang memadai. Di sisi lain, makanan cepat saji yang tinggi kalori namun rendah nutrisi masih menjadi pilihan utama karena harga murah dan akses yang lebih mudah. Ini berbanding terbalik dengan pola makan sehat yang memerlukan bahan makanan segar, proses memasak yang higienis, serta pengetahuan tentang kandungan nutrisi.
Upaya Pemerintah dan Tantangan di Lapangan
Pemerintah telah meluncurkan berbagai program, mulai dari Program Gizi Anak Sekolah hingga Intervensi Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Program ini fokus pada periode emas tumbuh kembang anak dari dalam kandungan hingga usia dua tahun. Namun, tantangan di lapangan sangat kompleks, terutama terkait keterbatasan tenaga gizi, logistik distribusi makanan tambahan, hingga koordinasi antar-lembaga.
Kementerian Kesehatan juga menggalakkan kampanye "Isi Piringku" untuk mengedukasi masyarakat tentang pola makan sehat. Namun, perubahan perilaku tidak bisa instan. Diperlukan pendekatan lintas sektor, termasuk pelibatan tokoh masyarakat, komunitas lokal, dan media digital untuk menyampaikan pesan gizi secara masif dan berkelanjutan.
Selain itu, diperlukan sistem pemantauan gizi anak yang lebih responsif dan akurat. Penguatan data di tingkat Puskesmas hingga Posyandu menjadi kunci dalam memetakan risiko dan memberikan intervensi tepat waktu. Pemerintah daerah juga didorong untuk memasukkan penanganan gizi buruk ke dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah.