Anak Lulus Sekolah, Orang Tua Malah Galau!
- https://id.pinterest.com/pin/172192385730050008/
Lifestyle, VIAV Bali – Momen kelulusan anak biasanya menjadi salah satu pencapaian paling membanggakan bagi orang tua. Setelah bertahun-tahun mendampingi, membiayai, dan menyaksikan proses panjang anak menempuh pendidikan, akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil. Senyum lebar, foto wisuda, dan pelukan haru pun jadi bagian dari kenangan manis yang tak terlupakan. Namun, siapa sangka, di balik rasa bangga itu, tak sedikit orang tua justru dilanda rasa galau yang dalam. Sebuah kondisi emosional yang kerap datang diam-diam, saat anak mulai melangkah ke dunia baru, dan orang tua justru merasa seperti ditinggalkan.
Fenomena ini dikenal dengan istilah Empty Nest Syndrome atau sindrom sarang kosong. Ini adalah kondisi psikologis yang dialami orang tua ketika anak-anak mereka tumbuh dewasa dan meninggalkan rumah. Saat tugas utama sebagai pengasuh dan pendamping anak tak lagi menjadi rutinitas harian, banyak orang tua yang merasa kehilangan arah. Mereka mulai bertanya-tanya: "Apa lagi yang bisa saya lakukan setelah ini?" Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian berkembang menjadi rasa sepi, tidak berguna, dan bahkan bisa mengarah pada depresi ringan hingga berat.
Perubahan besar dalam pola hidup menjadi pemicu utama sindrom ini. Kehidupan yang tadinya dipenuhi aktivitas untuk anak—menyiapkan sarapan, mengantar ke sekolah, mengingatkan jadwal belajar—mendadak terasa kosong. Kehampaan ini semakin terasa jika orang tua tidak memiliki aktivitas pribadi, hobi, atau jaringan sosial yang kuat di luar peran mereka sebagai orang tua. Tak heran, banyak yang mengalaminya tanpa sadar, karena menganggapnya hanya perasaan sedih sesaat. Padahal, jika dibiarkan, kondisi ini bisa mengganggu kesehatan mental dan keseimbangan emosional dalam jangka panjang.
Yang menarik, galau karena anak lulus bukan hanya dirasakan ibu rumah tangga. Ayah yang biasanya lebih terlibat secara finansial atau sebagai pengatur strategi pendidikan anak, juga bisa merasakan tekanan emosional yang sama. Kehilangan peran aktif dalam kehidupan anak membuat banyak orang tua merasa seperti “tidak lagi dibutuhkan.” Beberapa dari mereka bahkan mengalami krisis identitas, apalagi jika hubungan dengan pasangan juga mulai renggang karena selama ini terlalu fokus pada anak.
Namun, di balik segala kegalauan itu, fase ini sebenarnya bisa menjadi kesempatan baru bagi orang tua untuk kembali menemukan jati diri. Momen ini bisa dimanfaatkan untuk mengejar hobi lama yang tertunda, mempererat hubungan dengan pasangan, atau bahkan menjajaki peluang-peluang baru yang selama ini terabaikan. Banyak orang tua yang mulai aktif di komunitas sosial, ikut kelas seni, berkebun, atau berolahraga secara rutin setelah anak-anak mereka mandiri.
Tak kalah penting, menjaga komunikasi yang sehat dengan anak juga sangat membantu meredakan perasaan kehilangan. Meski sudah tidak tinggal serumah, ikatan emosional tetap bisa terjalin melalui obrolan santai, kunjungan rutin, atau sekadar bertukar kabar lewat telepon. Dukungan sosial dari lingkungan sekitar pun berperan besar. Teman sebaya, keluarga besar, bahkan komunitas hobi bisa menjadi ruang untuk berbagi dan kembali merasakan koneksi emosional.
Bagi sebagian orang tua, menghadapi fase ini memang tidak mudah. Perasaan sedih, bingung, dan sepi bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Namun, dengan kesadaran dan dukungan yang tepat, fase ini justru bisa menjadi titik awal dari babak baru kehidupan yang lebih bermakna. Hidup tak berhenti saat anak lulus. Justru inilah waktu terbaik untuk merayakan perjalanan sebagai individu yang utuh—bukan hanya sebagai orang tua, tapi juga sebagai pribadi yang terus berkembang.