Spageti dan Burger Jadi Menu MBG, dr Tan Shot Yen Kritik Keras Kandungan Gizinya

Spageti dan burger jadi menu MBG, dr Tan Shot Yen kritik keras
Sumber :
  • Tangkapan Layar Youtube

Jakarta, VIVA BaliSpageti dan burger masuk menu Makan Bergizi Gratis (MBG). dr Tan Shot Yen langsung melontarkan kritik pedas, menyebut sajian impor itu tak mencerminkan gizi lokal yang seharusnya jadi prioritas.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai solusi pemenuhan gizi anak bangsa, justru menuai kritik pedas dari dr Tan Shot Yen, dokter sekaligus ahli gizi. 

Pasalnya, di sejumlah daerah menu MBG menghadirkan spageti hingga burger, makanan yang menurutnya tidak mencerminkan kearifan lokal, bahkan minim nilai edukasi soal pangan.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IX DPR RI, Tan menegaskan pentingnya mengembalikan MBG pada tujuan awal yakni menyehatkan sekaligus mengenalkan pangan lokal kepada anak-anak.

“Alokasikan menu lokal 80 persen isi MBG di seluruh wilayah. Saya pengin anak Papua bisa makan ikan kuah asam, saya pengin anak Sulawesi bisa makan kapurung,” ujar Tan lantang. 

Tan mengaku heran ketika menemukan burger menjadi salah satu sajian MBG. 

Baginya, burger hanyalah produk impor gandum yang jelas-jelas tidak tumbuh di Indonesia.

“Yang dibagi adalah burger. Tepung terigu tidak pernah tumbuh di bumi Indonesia, nggak ada anak muda yang tahu bahwa gandum tidak tumbuh di bumi Indonesia,” tegas Tan.

Tak hanya itu, Tan juga menyindir menu spageti dan bakmi ala franchise populer yang justru masuk dalam paket MBG.

“Dibagi spageti, dibagi bakmi Gacoan, oh my god. Dan maaf ya, isi burgernya itu kastanisasi juga. Kalau yang dekat dengan pusat supaya kelihatan bagus dikasih chicken katsu,” sindir ahli gizi ini. 

Tan juga menyoroti praktik nakal Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang menyajikan isi burger dengan daging olahan abal-abal.

“Kalau yang di daerah, SPPG-nya main, dikasih benda tipis berwarna pink. Saya aja nggak tega bilang itu daging olahan, saya nggak tahu itu produk apaan. Rasanya kayak karton, warnanya pink, lalu anak-anak disuruh DIY, susun burger sendiri. Astaga, kan bukan itu tujuan MBG,” ucap Tan dengan nada kecewa.

Tan bahkan meragukan kompetensi sejumlah ahli gizi yang terlibat dalam unit SPPG.

Ahli Gizi ini mengungkapkan pengalaman rekan-rekan seniornya saat berkunjung ke lapangan, banyak tenaga gizi junior tidak memahami HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point), standar dasar keamanan pangan internasional.

“Kalau HACCP saja nggak ngerti, bagaimana bisa menjamin makanan yang dibagikan aman dan layak untuk anak-anak? Minimnya pemahaman ini berdampak langsung pada kualitas gizi MBG,” ujarnya.

Tak hanya soal makanan, Tan juga menyoroti pemberian susu formula dalam program MBG. 

Tan menilai hal ini sebagai kesalahan fatal karena tidak memperhitungkan kondisi biologis masyarakat Indonesia.

Menurutnya, mayoritas etnis Melayu, termasuk Indonesia, memiliki intoleransi laktosa secara genetik. 

Artinya, tubuh mereka tidak mampu mencerna gula alami pada susu.

“Kalau diberikan secara massal, susu justru bisa bikin anak-anak diare. Bukan sehat, malah jadi sakit. Jadi ini harus dipikirkan ulang,” jelas Tan.

Lebih jauh, Tan menegaskan dapur MBG tak seharusnya menuruti permintaan anak-anak yang ingin makanan instan.

“Mau sampai kapan makannya burger? Saya setuju ada anak yang tidak suka pangan lokal karena mereka tidak terbiasa. Tapi bukan berarti request anak-anak lalu dijawab dapur. Kalau request-nya cilok? Mati kita,” kata Tan setengah berkelakar.

Bagi Tan, MBG punya potensi besar sebagai alat pendidikan gizi berbasis budaya. 

Anak-anak Indonesia seharusnya diperkenalkan pada ragam makanan lokal yang kaya nutrisi, bukan dicekoki fast food impor.

Sorotan tajam dr Tan ini menambah tekanan agar pemerintah serius mengevaluasi program MBG. 

Publik kini menunggu apakah kritik keras ini akan direspons dengan perbaikan nyata, atau justru dibiarkan hingga program kehilangan esensi sejatinya yakni menyehatkan anak-anak bangsa dengan pangan Indonesia.