Perahu Layar Sangiang Bima, Tradisi Budaya yang Sarat Dengan Nilai Spiritual dan Mistis
- Juwair Saddam/ VIVA Bali
Bima, VIVA Bali – Festival Sangiang Api (FSA) tahun 2025 sukses digelar. Pesta rakyat tahunan yang digelar di Desa Sangiang Kecamatan Wera Kabupaten Bima, NTB itu berakhir Minggu malam, 3 Agustus 2025.
Lomba Perahu Layar menjadi salah satu daya tarik dalam rangkaian kegiatan FSA. Lomba ini sangat menarik karena mampu memantik animo masyarakat yang tidak sedikit.
Ribuan masyarakat tumpah ruah di pinggir pantai menyaksikan Lomba Perahu Layar. Pengunjung bukan hanya dari Bima, tapi juga berasal dari Dompu, Sumbawa, Lombok hingga wisatawan mancanegara.
Selain ajang olahraga dan hiburan, Lomba Perahu Layar juga sebagai wadah untuk melestarikan budaya yang telah turun-temurun diwariskan. Tidak heran, kompetisi Perahu Layar sudah menjadi tradisi yang masih terjaga di Sangiang.
Lomba ini tidak hanya menantang kemampuan fisik, tetapi juga keterampilan dalam mengendalikan perahu dari terpaan angin dan gelombang.
Perahu Layar bukan sekadar kompetisi perahu cepat, tetapi sebuah peristiwa budaya yang sarat dengan nilai-nilai spiritual dan mistis yang kuat. Ada mitos beredar jika perahu yang dilombakan biasanya sudah diisi oleh kekuatan supranatural.
Menariknya, lomba ini sangat bergengsi karena melibatkan orang-orang penting seperti pengusaha, pejabat hingga anggota dewan sebagai pemilik perahu. Tidak heran, Perahu Layar jadi ajang pertaruhan nama besar. Gengsinya tinggi. Euforianya hampir sama dengan pemilihan kepala desa.
Tapi, euforia itu memiliki batas, karena mereka sadar itu hanya sebatas kompetisi dan hiburan. Bagi mereka "Di darat kita saudara, di laut adalah musuh".
Sebelum kompetisi dimulai, para pemilik perahu melakukan beberapa ritual khusus sejak pembuatan perahu. Namun, ritual tersebut tergantung pada kepercayaan.
"Perahu Layar ini tidak seperti perahu pada umumnya dan hanya dipakai lomba. Tidak bisa dipakai melaut, kayak mancing atau jala ikan," kata Pemilik Sampan Layar Sembilan Naga, Saifulah, asal Desa Sangiang pada Bali.viva.co.id, Minggu 3 Agustus 2025.
Sebelum pembuatan Sampan Layar dimulai, biasanya diadakan doa bersama. Memohon keselamatan dan keberkahan pada Allah SWT.
Orang Sangiang umumnya Wera mengibaratkan perahu seperti manusia dan harus berjenis kelamin laki-laki. Ketika membuat perahu, penyatuan papan dimulai dari perut sebagai simbol keperkasaan. Perahu Layar pantang disentuh oleh perempuan.
"Jadi, selama kompetisi berlangsung perahu tidak boleh disentuh perempuan, makanya dijaga setiap saat. Apalagi perempuan yang sedang haid," jelas dia.
Proses pembuatan perahu memakan waktu sampai 3 bulan. Biasanya dibuat 3 atau 4 bulan sebelum Festival Sangiang Api digelar.
Ukuran perahu biasanya lebih kecil dan ramping. Panjang perahu 7 sampai 9 meter, lebar 54 cm, tinggi badan perahu 65 cm dan tinggi tiang 7 meter. Satu perahu bisa menghabiskan dana sampai Rp 30 lebih juta. Biayanya lebih mahal karena kualitas kayu. Belum lagi upah pekerja, harga cet, dan kebui lain.
Perahu Layar terbuat dari kayu-kayu ringan, kuat dan tahan lama. Sementara untuk cadik dari bambu ukuran besar yang hanya bisa didapat di tempat tertentu. Sementara layar terbuat dari terpal dan dua batang bambu dibentuk segitiga. Berdasarkan ketentuan panitia, bentangan layar berukuran tinggi 10 meter dan lebar 10 meter.
"Kayu-kayu ini dibeli dari luar daerah," katanya.
Setelah pembuatan selesai, pemilik perahu melakukan proses ritual menggunakan dua biji kemiri (jenis laki-laki dan perempuan) dan satu asam berbiji tiga yang sudah dihaluskan. Selanjutnya dioleskan pada beberapa bagian perahu yang dilakukan oleh pelepas.
Ritual biji kemiri dan asam ini diyakini sebagai simbol dua kalimat yakni, Audzubillahiminasyaitonirojim dan Bismillahirohmanirohim. Tujuannya, meminta perlindungan dari setan dan jin serta perbuatan jahat manusia.
"Kita perlu berdoa untuk meminta keberkahan dan keselamatan. Soal menang dan kalah itu ketentuan sang Maha Kuasa," kata salah satu Tokoh Agama, H Yasin atau dikenal dengan nama Abu Lenggo asal Desa Sangiang. Abu Lenggo juga dikenal pelepas Perahu Layar.
Uniknya, kompetisi Perahu Layar tidak sembarangan digelar. Lomba ini hanya bisa diadakan pada kondisi tertentu. Pastinya, disaat kondisi cuaca ekstrem. Angin kencan dan gelombang tinggi sangat mendukung kelancaran kompetisi ini.
Penetapan waktu kompetisi Perahu Layar berpatokan pada tibanya musim angin tenggara. Tiap tahun biasanya angin tenggara muncul di akhir Juli atau awal Agustus.
Musim angin tenggara ini dianggap tepat karena kompetisi Perahu Layar mengambil star dari Pulau Gunung Sangiang menuju Pantai Desa Sangiang. Panjang lintasan sekitar 20 kilometer.
Sebelum kompetisi dimulai, orang Sangiang akan mengadakan ritual memanggil angin untuk memastikan kelancaran event. Ritual ini seperti orang berdoa pada umumnya. Hanya dibumbui aksi lempar periuk ke udara. Bagi orang Sangiang, periuk diyakini sebagai sumber kehidupan.
"Ritual ini sudah dilakukan turun temurun. Sejarahnya, orang-orang Sangiang pada zaman dulu biasanya bawa hasil alam ke luar daerah itu menggunakan kapal layar. Ketika di tengah laut angin mati, tentu barang muatan akan busuk. Makanya diadakan doa meminta angin," kata Saifullah.
Lomba Perahu Layar digelar pada waktu siang, bertepatan dengan tibanya angin tenggara. Dengan begitu, para pemilik harus membawa perahu lebih awal ke tempat star. Setiap perahu ditumpangi enam orang terlatih dengan satu diantaranya sebagai komando.
Bahkan dalam kepercayaan orang Sangiang, beberapa kejadian mistis yang sering terjadi saat perlombaan Perahu Layar menambah daya tarik dan keunikan tradisi ini. Menariknya, lomba ini digelar setiap hari selama sepekan penuh atau FSA berlangsung.
Animo masyarakat dari berbagai wilayah menyaksikan lomba ini sangat tinggi. Rela datang dari jauh hanya untuk memberi dukungan Perahu Layar jagoan mereka.
Di balik serunya event ini, Perahu Layar merefleksikan nilai kebersamaan dan kekompakan. Seluruh warga ikut ambil bagian, mulai dari menyiapkan perahu hingga mendukung selama jalannya lomba.
"Mereka bukan cuma datang nonton, bahkan ada juga yang bawa makanan hingga uang untuk para pemilik perahu," ujar pria yang akrab disapa Ayang ini.
Menurut dia, Perahu Layar sudah menjadi tradisi turun temurun masyarakat Wera khususnya Sangiang. Bukan sekadar untuk dilombakan, tetapi sudah dianggap sebagai anggota keluarga. Perahu dirawat dan dijaga layaknya anak sendiri.
"Perahu ini saya anggap seperti anak sendiri. Selesai kompetisi, perahu ini tetap kami jaga dan rawat setiap saat," ujarnya.
Sementara Ketua Ikatan Keluarga Wera Nusantara (IKRA), Prof H Muhtar mengatakan, semaraknya perlombaan Perahu Layar patut diapresiasi. Ribuan masyarakat berbondong-bondong ke Sangiang hanya untuk menyaksikan lomba Perahu Layar.
"Ini luar biasa. Kami tidak menyangka animo masyarakat bisa sebanyak ini," ujarnya.
Kegiatan Lomba Perahu Layar diharapkan dapat menarik minat lebih banyak peserta dan pengunjung pada tahun-tahun mendatang. Dia memastikan, tahun depan FSA akan lebih meriah dengan beragam event.
"Kami ingin menjadikan perlombaan ini sebagai agenda rutin yang ditunggu-tunggu setiap tahun," tandas Muhtar.
IKRA pun sangat serius mengembangkan FSA sebagai ikon pariwisata. Bahkan FSA ditargetkan masuk dalam Karisma Event Nusantara (KEN).
Tidak heran, FSA belakangan ini cukup viral di media sosial. Selain menyaksikan lomba, masyarakat juga bisa menikmati beragam kuliner dan pertunjukan seni budaya.