Menjaga Keharmonisan Alam, Makna Ritual "Melabuh Makanan" di Sungai Kalimantan

Sajen Makanan Tradisi Nusantara
Sumber :
  • https://islami.co/tidak-berarti-menyekutukan-tuhan-begini-makna-sesajen-dalam-perspektif-agama-lokal/

Tradisi, VIVA Bali – Tradisi menghanyutkan makanan atau sesajen ke sungai adalah praktik budaya yang mengakar kuat di berbagai komunitas di Kalimantan, khususnya di sepanjang aliran sungai-sungai besar seperti Kapuas atau Martapura. Ritual ini, yang dikenal dengan beberapa nama seperti "Buang-Buang" (khususnya oleh masyarakat Melayu Mempawah) atau "Malabuh" (masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan), bukanlah tindakan membuang sampah, melainkan sebuah bentuk persembahan spiritual dan wujud kearifan lokal dalam menjaga keharmonisan dengan alam.

 

Fungsi dan Makna Spiritual

 

Secara filosofis, ritual ini memiliki dua tujuan utama. Yang pertama adalah Tolak Bala, sebuah permohonan kepada kekuatan gaib atau entitas penjaga sungai (seperti roh leluhur atau makhluk halus seperti buaya gaib) agar dijauhkan dari marabahaya, bencana, dan penyakit. Ritual Buang-Buang yang dilakukan dalam rangkaian upacara Robo-Robo (yang digelar pada hari Rabu terakhir bulan Safar) adalah contoh nyata dari tradisi tolak bala ini.

 

Tujuan kedua adalah sebagai ungkapan rasa syukur dan penghormatan. Makanan yang dilarung ke sungai, yang sering berupa nasi ketan, telur, atau ketupat tujuh rupa, dipercaya sebagai 'santapan' bagi para leluhur (Petara dalam keyakinan Dayak Kaharingan) atau penjaga alam yang telah memberikan hasil panen dan keselamatan. Dengan memberikan persembahan ini, masyarakat berharap dapat menjaga hubungan yang baik dengan dunia gaib, memastikan kelangsungan hidup yang damai dan berlimpah rezeki.

 

Sungai Sebagai Pusat Kehidupan

 

Bagi masyarakat Kalimantan, yang dikenal sebagai "Pulau Seribu Sungai," sungai adalah urat nadi kehidupan, bukan sekadar aliran air. Sungai adalah sumber mata pencaharian, transportasi, dan juga diyakini sebagai tempat tinggal entitas spiritual. Oleh karena itu, ritual menghanyutkan sesajen menjadi simbol pengakuan bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar dan harus menghormati seluruh penghuninya—baik yang terlihat maupun yang tidak. Praktik ini secara budaya telah diwariskan turun-temurun, mengajarkan generasi muda tentang pentingnya hidup berdampingan, tanggung jawab, dan spiritualitas yang terikat erat dengan alam semesta.