Wayang Wong, Drama Tari Tradisional Jawa yang Menggabungkan Tari, Drama, dan Gamelan

Wayang wong, seni pertunjukan yang sarat hiburan
Sumber :
  • https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/babak-baru-pementasan-wayang/

Budaya, VIVA Bali – Warisan lama yang dihidupkan kembali oleh dua keraton di Jawa. Sebuah kesenian tradisional yang menawarkan pengalaman budaya mendalam melalui pertunjukan hidup, yaitu Wayang Wong atau Wayang Orang.

Kesenian ini merupakan perpaduan sempurna antara tari, drama, dan musik gamelan, sering kali menggambarkan kisah epik seperti Ramayana dan Mahabharata. Ditampilkan dengan kostum rumit, gerakan ekspresif, dan topeng yang menyerupai wayang kulit, Wayang Wong menghibur sekaligus mendidik penonton tentang nilai moral, etika, dan mitologi Jawa. Pertunjukan ini biasanya diadakan di panggung terbuka, melibatkan sekelompok penari yang memerankan karakter beragam, diiringi alat musik tradisional Jawa (gunungkidulkab.go.id).

Penciptaan Wayang Wong ini dilansir dari wikipedia.org, dilatarbelakangi oleh evolusi kesenian wayang di Kerajaan Mataram sekaligus keinginan menghidupkan cerita wayang kulit menjadi pertunjukan manusiawi yang lebih dinamis. Diciptakan oleh Sri Susuhunan Hamangkurat I pada tahun 1731, Wayang Wong menggantikan boneka wayang kulit dengan aktor manusia yang mengenakan pakaian dan hiasan serupa, termasuk lukisan wajah untuk menyerupai bentuk wayang dari samping. Cerita yang diangkat berbasis duel epik Mahabharata dan Ramayana, dengan elemen tari kolosal atau individu di jeda cerita, serta tokoh punakawan sebagai pencair suasana yang merepresentasikan masyarakat umum dan abdi dalem, menciptakan harmoni antara hiburan, edukasi, dan refleksi sosial.

 

Diresmikan sebagai bentuk kesenian wayang pada abad ke-18 dan memiliki akar sejarah yang sangat tua, Wayang Wong disebutkan dalam Prasasti Wimalasmara (930 M) dan Prasasti Balitung (907 M) dengan istilah Jawa Kuno "wayang wwang", menandakan keberadaannya sejak zaman Mataram Kuno. Kesenian ini dilestarikan oleh kerajaan-kerajaan di Jawa Timur seperti Majapahit, kemudian dihidupkan kembali di keraton Surakarta dan Yogyakarta setelah Perjanjian Giyanti pada 1755, dengan pengembangan khusus di Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono I pada 1750-an. Pertunjukan sempat mandek pada awal kemerdekaan, tetapi bangkit kembali hingga 1970-an melalui kelompok seperti Pancamurti (yang kemudian menjadi Bharata di Jakarta) dan Wahyu Utomo di Semarang (indonesiakaya.com).

 

Pertunjukan khas Wayang Wong dilansir dari gunungkidulkab.go.id, melibatkan sekelompok penari yang diiringi oleh pemusik yang memainkan alat musik tradisional Jawa seperti gamelan. Para penari mengambil peran karakter yang berbeda dan memerankan sebuah cerita, sering kali menggabungkan koreografi yang kompleks dan gerakan dramatis. Pertunjukan biasanya diadakan di panggung, memberikan pengalaman visual bagi penonton. Ini juga berfungsi sebagai sarana menghibur dan mendidik masyarakat tentang narasi sejarah dan mitologi, sekaligus menyampaikan pesan moral dan etika melalui pertunjukannya. Pentingnya Wayang Wong sebagai warisan budaya terletak pada kemampuannya menghubungkan masyarakat dengan kekayaan tradisi, memberikan gambaran sekilas tentang kepercayaan dan praktik masa lalu.