Seba Baduy, Ritual Syukur yang Tak Lekang oleh Zaman
- https://www.mlki.or.id/19-free-ways-to-enjoy-the-summer/
Budaya, VIVA Bali – Setiap tahun, di tengah heningnya hutan Banten, ada suara langkah kaki yang meninggalkan jejak panjang di jalan tanah, aspal, hingga trotoar kota. Itulah Seba Baduy, sebuah tradisi tahunan masyarakat adat Baduy yang turun gunung membawa hasil bumi sebagai tanda syukur sekaligus amanat kepada pemerintah.
Perjalanan dari Desa ke Kota
Pagi itu, puluhan warga Baduy baik itu lelaki, perempuan, tua, dan muda berangkat dari Desa Kanekes. Dengan pakaian khas, ikat kepala putih, dan kain hitam sederhana, mereka berjalan tanpa alas kaki. Di punggung mereka tergantung anyaman bambu berisi padi, pisang, gula aren, dan hasil bumi lainnya.
Mereka berjalan jauh, menempuh puluhan kilometer, menuju Rangkasbitung. Ada pula yang melanjutkan perjalanan hingga ke pendopo gubernur di Serang. Setiap langkah bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi bentuk pengabdian dan penghormatan.
Makna di Balik Seba
Seperti dijelaskan oleh Ifat Hanifah dalam penelitiannya tahun 2024, bagi masyarakat Baduy, Seba bukan hanya ritual adat, tapi bahasa syukur kepada Tuhan atas panen yang melimpah. Hasil bumi yang mereka bawa bukan sekadar persembahan, tetapi simbol ketulusan bahwa apa yang diperoleh dari tanah harus kembali dibagi.
Seba juga adalah silaturahmi. Dalam istilah mereka, pemerintah disebut sebagai “Bapak Gede” atau “Ibu Gede”. Dengan Seba, masyarakat Baduy datang menyampaikan amanat leluhur dan pesan moral: hidup harus sederhana, jujur, serta menjaga keseimbangan dengan alam.
Lebih jauh, Seba adalah cermin identitas. Di tengah modernisasi yang cepat, tradisi ini menjadi pengingat bahwa masyarakat Baduy tetap teguh pada adatnya, bahwa langkah kaki mereka bukan hanya menuju kota, tetapi menuju penguatan jati diri.
Meriah tapi Sederhana
Sesampainya di kota, suasana menjadi meriah. Warga Baduy duduk bersila, sesepuh adat berbicara dengan bahasa yang tegas tapi penuh makna. Mereka menyerahkan hasil bumi sebagai simbol persembahan. Pemerintah menyambut dengan hormat, sementara masyarakat sekitar ikut menyaksikan, terkadang kagum melihat keteguhan adat yang begitu kuat di tengah zaman modern.
Meski sederhana, Seba selalu meninggalkan kesan mendalam. Bukan pesta hura-hura, melainkan pesta syukur dan pesan moral yang menggetarkan.
Tantangan di Era Modern
Namun, tidak bisa dipungkiri, Seba menghadapi tantangan. Perjalanan jauh sering terkendala kesehatan, usia, atau keterbatasan fisik. Modernisasi juga membawa pengaruh, membuat generasi muda tergoda oleh kenyamanan zaman baru.
Tetapi, hingga kini Seba tetap bertahan. Bagi orang Baduy, hilangnya Seba sama dengan hilangnya jati diri. Maka, meski berat, mereka tetap berjalan, tetap membawa hasil bumi, tetap menyampaikan pesan leluhur.
Melihat Seba adalah seperti membaca kitab kehidupan. Dari situ kita belajar tentang budaya yang harus dijaga, kebersamaan sosial yang harus dirawat, spiritualitas yang menguatkan, dan sejarah yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan.
Seba Baduy mengajarkan kita arti sederhana dari kehidupan: syukur atas apa yang ada, berjalan apa adanya, dan tidak pernah melupakan asal-usul.