Terungkap! 6 Metode Pendidikan Holistik Al-Ghazali yang Efektif di Kurikulum Modern

Bentuk akal dan akhlak anak lewat pendidikan holistik
Sumber :
  • https://www.pexels.com/id-id/foto/buku-buku-pustaka-membaca-belajar-17639056/

Lifestyle, VIVA Bali – Di tengah hiruk-pikuk kurikulum dan metode pengajaran modern, pertanyaan ini jarang diajukan secara jujur. Apakah sistem pendidikan hari ini benar-benar membentuk anak secara utuh? Atau sistem ini justru mencetak generasi unggul di atas kertas, tetapi rapuh secara moral dan spiritual dalam kehidupan nyata?

Ketika dunia pendidikan sibuk mengejar inovasi kurikulum modern, jauh sebelum itu Imam Al-Ghazali telah merancang pendidikan secara menyeluruh. Ulama besar yang dijuluki Hujjatul Islam ini bukan hanya ahli fikih dan tasawuf, tetapi juga seorang pendidik visioner yang menawarkan pendekatan holistik terhadap pendidikan anak.

Dilansir dari laman resmi Kementerian Agama RI dalam artikel berjudul Cara Mendidik Anak Secara Holistik ala Al-Ghazali (kemenag.go.id), pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan terbukti tetap relevan hingga kini. Gagasannya bahkan dianggap mampu menjawab tantangan zaman, termasuk dalam konteks Kurikulum Merdeka yang menekankan pembentukan karakter dan pendekatan holistik.

Berikut adalah 6 metode mendidik anak secara holistik menurut Al-Ghazali yang semakin relevan di tengah tantangan pendidikan modern saat ini.

1. Keteladanan Membangun Karakter Sejak Dini

Al-Ghazali menempatkan keteladanan (uswah hasanah) sebagai pilar pertama dalam pendidikan. Dalam pandangannya, guru dan orang tua harus menjadi contoh nyata, karena anak meniru lebih banyak daripada mendengar.

Dalam artikel Kemenag dijelaskan bahwa pendekatan ini sejalan dengan teori pembelajaran sosial dari Albert Bandura, yang menekankan bahwa anak belajar paling efektif melalui observasi dan peniruan perilaku dari figur panutan di lingkungan sekitarnya.

2. Pembiasaan Nilai untuk Akhlak yang Tangguh

Pembelajaran melalui pembiasaan menjadi metode kedua yang ditekankan Al-Ghazali. Ia mendorong internalisasi nilai-nilai luhur dengan mengenalkan Asmaul Husna secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari anak.

Masih merujuk pada artikel yang sama, pendekatan ini selaras dengan teori keystone habit dari Charles Duhigg dan prinsip dalam Atomic Habits karya James Clear, yang menekankan bahwa perubahan besar dalam hidup dimulai dari kebiasaan kecil yang dijalani secara konsisten.

3. Belajar Lewat Kisah yang Menyentuh Hati Anak

Metode ta’lim bi al-qishah atau pembelajaran melalui cerita adalah cara Al-Ghazali dalam menyampaikan nilai dengan pendekatan yang menyenangkan dan sesuai dengan usia anak.

Dilansir dari sumber yang sama, kisah-kisah dipandang sebagai media yang menyentuh hati dan menanamkan makna secara alami, menjadikan proses belajar sebagai pengalaman emosional, bukan sekadar kognitif.

4. Pemurnian Jiwa sebagai Inti Pendidikan Islami

Salah satu aspek paling esensial dalam pendidikan Al-Ghazali adalah ta’lim al-qalb, yakni penyucian hati dan jiwa anak. Ini bukan sekadar pelengkap spiritual, tetapi justru inti dari pendidikan itu sendiri.

Artikel Cara Mendidik Anak Secara Holistik ala Al-Ghazali menegaskan bahwa esensi pendidikan sejati terletak pada pembinaan akhlak mulia dan penguatan nilai spiritual, bukan semata-mata pada penguasaan materi pelajaran. Nilai-nilai inilah yang menjadi fondasi pendidikan karakter Islam, namun sering terabaikan dalam praktik pendidikan masa kini.

5. Nalar kritis sebagai senjata agar anak tidak sekadar menghafal

Al-Ghazali dikenal sebagai pemikir tajam yang mengkritisi filsafat dalam karyanya Tahafut al-Falasifah. Ia menekankan pentingnya pendidikan akal (ta’lim al-‘aql) dan kebebasan berpikir dalam proses belajar.

Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Kementerian Agama, sikap kritis yang diajarkan Al-Ghazali kini dikenal sebagai kemampuan berpikir kritis, salah satu keterampilan utama abad 21. Penguatan nalar kritis merupakan fondasi penting dalam pendidikan holistik yang membentuk manusia seutuhnya, bukan sekadar siswa yang mampu menjawab soal ujian.

6. Kecerdasan Sosial sebagai Bekal Hidup Nyata

Metode terakhir dari Al-Ghazali adalah ta’lim al-mu’asyarah, yaitu pembelajaran untuk membentuk keterampilan sosial dan empati. Al-Ghazali menekankan bahwa anak tidak hidup sendiri, sehingga perlu dibekali kecerdasan interpersonal agar mampu berinteraksi dan hidup selaras dalam masyarakat.

Dilansir dari artikel yang sama, pendekatan ini kini dikenal sebagai Social Quotient (SQ), kemampuan memahami, merespons, dan membentuk relasi sosial yang sehat. Anak dengan SQ tinggi lebih siap menghadapi tantangan kehidupan nyata di luar lingkungan sekolah.

Pendidikan sejati bukan hanya soal akademik, tetapi juga pembentukan akhlak dan jiwa. Sudah saatnya kita menghidupkan kembali pendekatan pendidikan holistik ala Al-Ghazali demi membentuk generasi masa depan yang lebih berkarakter dan berjiwa tangguh.