Terbongkar! 5 Budaya Toxic yang Diam-diam Menghancurkan Masa Depan Sekolah

Budaya toxic yang bikin sekolah gagal maju
Sumber :
  • https://www.freepik.com/free-photo/people-having-debate-while-looking-computer_25777644.htm

Lifestyle, VIVA Bali – Di balik dinding sekolah yang dipenuhi kutipan inspiratif dan program unggulan, ada persoalan yang jauh lebih krusial namun sering luput dari perhatian, yaitu budaya kerja internal. Sekolah bisa tampak baik secara fisik, tetapi rapuh dari dalam karena hubungan antarguru, staf, dan pimpinan yang tidak sehat.

Masalah utama stagnasi sekolah sering kali bukan karena kekurangan dana atau fasilitas. Justru, konflik personal, gosip, persaingan tidak sehat, hingga kepemimpinan yang bias menjadi akar dari kemunduran. Lebih parahnya, suasana toksik ini secara perlahan diserap oleh siswa tanpa mereka sadari.

Mengapa Budaya Positif Menjadi Kunci Kemajuan Sekolah?

Sekolah bukan sekadar ruang kelas dan lembar evaluasi. Ia adalah ekosistem nilai, tempat siswa menyaksikan bagaimana orang dewasa bekerja sama, menyelesaikan konflik, dan saling mendukung. Jika budaya di dalamnya positif, maka kolaborasi, kepercayaan, dan semangat inovasi akan tumbuh subur.

Sebaliknya, jika satu saja elemen dalam sistem rusak, dampaknya akan menjalar ke seluruh institusi. Dilansir dari Islamic Center Kaltim dalam artikel berjudul “Membangun Budaya Positif di Sekolah, Kunci Kemajuan Lembaga Pendidikan”, Berikut adalah 5 budaya kerja yang negatif menjadi penyebab utama sekolah sulit berkembang, bahkan cenderung mengalami kemunduran.

1. Kolaborasi Palsu yang Menyamar Menjadi Kompetisi Terselubung

Alih-alih membangun kerja sama, sebagian guru justru sibuk mencari celah rekan sejawat demi kepentingan pribadi. Budaya saling menjatuhkan ini merusak kepercayaan dan menghambat terbentuknya tim yang solid.

Ketika semangat kolektif digantikan oleh ambisi individual, maka sekolah kehilangan kekuatannya sebagai komunitas pembelajar. Dampaknya, inovasi terhambat dan iklim kerja menjadi penuh kecurigaan.

2.  Lingkungan yang Dipenuhi Bisik-bisik dan Kecurigaan

Gosip sering dianggap hal sepele, padahal bisa menjadi racun yang melumpuhkan organisasi. Saat kabar tak resmi lebih dipercaya daripada komunikasi formal, maka kepercayaan antarpihak mulai runtuh.

Akibatnya, suasana kerja berubah menjadi tegang dan tidak nyaman. Guru mulai saling curiga, enggan terbuka, dan lebih fokus pada menjaga citra daripada meningkatkan kualitas pembelajaran.

3. Inovasi yang Bukannya Didukung Malah Dijegal

Guru yang mencoba metode baru atau mengusulkan program unggulan sering kali dianggap ancaman. Mereka bukan didukung, tetapi dihambat oleh rekan sejawat atau pimpinan yang takut kehilangan pengaruh.

Budaya seperti ini mematikan semangat perubahan. Sekolah akhirnya berjalan di tempat karena tidak memberi ruang bagi pembaruan dan kreativitas untuk berkembang.

4. Kepemimpinan yang Tidak Netral Justru Memicu Ketidakadilan

Kepala sekolah seharusnya menjadi pengayom yang adil bagi semua. Namun, ketika pemimpin hanya mendengar satu pihak atau terang-terangan memihak kelompok tertentu, maka kepercayaan terhadap kepemimpinan pun runtuh.

Situasi ini menimbulkan rasa frustrasi, demotivasi, dan resistensi terhadap kebijakan sekolah. Guru merasa usahanya tidak dihargai, dan loyalitas pun mulai memudar. Akhirnya, hal ini berdampak langsung pada performa mengajar.

5. Senioritas yang Salah Tempat Justru Menghambat Regenerasi

Menghormati guru senior adalah hal penting dalam budaya kerja yang sehat. Namun, ketika senioritas dijadikan alat untuk menekan dan membungkam guru baru, maka sekolah kehilangan potensi regenerasi yang sangat dibutuhkan.

Guru muda yang penuh semangat dan ide segar justru dipaksa tunduk tanpa diberi ruang berekspresi. Ini bukan hanya merugikan individu, tetapi juga menyumbat aliran pembaruan yang vital untuk kemajuan sekolah di era modern.

Solusi Nyata adalah Membangun Budaya Positif dari Dalam

Perubahan di dunia pendidikan tidak datang dari luar, tetapi berawal dari dalam sekolah itu sendiri. Budaya positif hanya bisa tumbuh jika semua pihak di sekolah seperti guru, kepala sekolah, dan staf saling bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan saling mendukung.

Guru sebaiknya membiasakan kerja sama, bukan persaingan. Kepala sekolah perlu menjadi pemimpin yang adil, mau mendengar, dan mendukung ide-ide baru. Selain itu, seluruh warga sekolah penting untuk menyusun nilai bersama yang menjadi panduan dalam bersikap dan mengambil keputusan setiap hari.