Berani atau Tunduk? Makna Kemenangan Sebenarnya dalam Fim “Tatami”
- https://www.instagram.com/p/C_fzxFrNAhb/?igsh=MTltNHFjM2lpdHN3OQ==
Lifestyle, VIVA Bali – Dalam dunia olahraga, medali emas sering dianggap sebagai puncak prestasi, simbol dedikasi, dan kerja keras seorang atlet. Namun, film "Tatami" karya sutradara Guy Nattiv (Israel) dan Zar Amir Ebrahimi (Iran) menghadirkan perspektif berbeda: apakah kemenangan di podium tertinggi tetap berarti jika harus mengorbankan prinsip dan kebebasan?
Film drama hitam-putih ini membawa penonton menyelami dilema batin seorang pejudo muda asal Iran yang harus memilih antara tunduk pada tekanan politik atau mempertaruhkan segalanya demi integritas diri.
Leila Hosseini (Arienne Mandi) adalah pejudo berbakat yang tengah berlaga di kejuaraan internasional di Tbilisi, Georgia. Selangkah demi selangkah, ia mendekati medali emas yang selama ini diimpikannya. Namun, harapannya runtuh ketika pelatihnya, Maryam Ghanbari (diperankan Zar Amir Ebrahimi), menerima perintah dari pejabat asosiasi judo Iran: Leila harus mundur.
Bukan karena cedera atau masalah fisik, melainkan karena ia mungkin akan berhadapan dengan atlet Israel, Shani Lavi (Lir Katz). Bagi negaranya, itu adalah hal yang dilarang demi kepentingan politik.
Keputusan ini menempatkan Leila dalam dilema hidup dan mati: mundur berarti tunduk pada sistem represif, melawan berarti mempertaruhkan masa depan, keselamatan pelatihnya, dan bahkan nyawa keluarganya di Iran.
Meskipun fiksi, Tatami berakar pada kisah nyata yang mengguncang dunia olahraga. Penonton akan teringat pada kasus Saeid Mollaei, pejudo Iran yang pada 2019 diperintahkan mundur dari Kejuaraan Dunia Judo agar tidak bertanding melawan atlet Israel, Sagi Muki. Mollaei menolak, lalu mencari suaka dengan bantuan Federasi Judo Internasional (IJF).
Kisah Tatami mengungkap kenyataan pahit bahwa politik sering kali mencederai semangat sportivitas. Shani Lavi dalam film ini tidak digambarkan sebagai musuh, melainkan atlet yang justru dihormati Leila. Konflik sebenarnya adalah antara Leila dan sistem yang mengekang kebebasan atletnya.
Pilihan sinematografi hitam-putih dengan rasio layar sempit 4:3 membuat penonton seolah ikut terjebak dalam dunia Leila. Setiap tatapan cemas, peluh, dan kebimbangan terlihat begitu tajam. Tidak ada musik heroik atau adegan bombastis, hanya kesunyian yang mencekam ketika Leila harus menentukan nasibnya.
Estetika visual ini mengingatkan pada film klasik Jepang bertema judo karya Akira Kurosawa, Sanshiro Sugata, namun Tatami memberikan lapisan emosi yang lebih dalam dan personal.
Tatami bukan hanya bercerita tentang olahraga atau perebutan medali. Film ini adalah seruan kebebasan, pengingat bahwa keberanian mengambil sikap bisa jauh lebih berharga daripada piala atau podium.
Baik Guy Nattiv maupun Zar Amir Ebrahimi membawa keterlibatan emosional dalam proyek ini. Zar, yang pernah berurusan dengan sistem hukum Iran akibat skandal pribadi, menanamkan luka pribadinya ke dalam film. Hasilnya, Tatami terasa autentik, tajam, dan menyentuh.
Tatami adalah film yang wajib ditonton, bukan hanya oleh pencinta olahraga, tetapi oleh siapa pun yang menghargai kebebasan dan integritas. Film ini membongkar sisi gelap dunia olahraga yang sering tersembunyi dari publik: politik yang menyusup hingga ke atas matras pertandingan.
Pada akhirnya, Tatami mengajarkan satu hal penting: kemenangan sejati bukanlah medali emas di leher, melainkan keberanian untuk berdiri di sisi yang benar, meski dunia berusaha menjatuhkanmu.