Kenapa Konten Pura-Pura Bodoh di Medsos Malah Viral? Ini Penjelasan Psikologinya

Influencer yang sedang live
Sumber :
  • https://www.freepik.com/free-photo/influencer-posting-social-media_20728302.htm

Livestyle, VIVA Bali – Pernah nggak sih kamu nonton konten creator yang pura-pura nggak tahu hal basic, terus komennya rame banget? Atau video yang acting-nya kelewat lebay sampai bikin gemas? Ternyata, konten "pura-pura bodoh" ini ada sains psikologisnya lho! Mari kita bedah kenapa strategi ini bisa bikin content creator meraup jutaan views.

 

Social Currency - Bikin Orang Merasa Lebih Pintar

 

Salah satu alasan utama konten "bodoh-bodohan" viral adalah karena mereka memberikan social currency kepada audience. Dilansir dari DataDab, orang suka share konten yang bikin mereka terlihat smart, informed, atau lebih tahu dibanding yang lain.

 

Ketika melihat content creator yang pura-pura nggak tahu sesuatu yang basic, audience langsung merasa superior dan pintar. Mereka jadi excited untuk komen, share, dan ngasih "pencerahan" di kolom komentar. Without realizing it, mereka sudah terjebak dalam engagement trap yang disengaja.

 

Emotional Trigger yang Kuat - Dari Gemas Sampai Lucu

 

Konten viral selalu punya satu kesamaan: mereka trigger emosi yang kuat. Nah, konten "pura-pura bodoh" ini masterfully memainkan berbagai emosi sekaligus. Ada yang merasa gemas pengen koreksi, ada yang ketawa geli, ada juga yang frustasi karena "kok bisa sih orang sekepoan itu?"

 

Apapun emosinya, yang penting strong emotional response! Karena menurut psikologi, konten yang memicu emosi kuat lebih likely untuk di-share dan diingat audience.

 

The Outrage Economy - Kontroversi yang Menguntungkan

 

Ada satu fenomena menarik di media sosial yang disebut "outrage economy" - dimana konten yang bikin orang kesal atau frustrated justru mendapat engagement tinggi. Konten creator yang pura-pura bodoh sering memanfaatkan ini dengan sengaja bikin statement atau tindakan yang "menyebalkan".

 

People can't help but comment untuk "mengoreksi" atau mengekspresikan frustrasi mereka. Ironically, semakin banyak hate comment, semakin tinggi engagement rate, dan semakin besar kemungkinan konten tersebut di-push algoritma platform.

 

Algoritma Platform yang Mendukung Engagement

 

Platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menggunakan algoritma yang prioritas terhadap engagement rate. Nggak peduli engagement-nya positif atau negatif - yang penting tinggi! Dilansir dari The Business & Financial Times, algoritma ini mendorong creator untuk membuat konten yang provocative dan controversial.

 

Konten "pura-pura bodoh" perfect untuk trik ini karena hampir selalu generate massive comments dan shares. Platform algorithm melihat high engagement sebagai signal bahwa konten tersebut "valuable" dan worth untuk di-distribute lebih luas.

 

Psychological Need untuk Koreksi dan Edukasi

 

Manusia punya natural tendency untuk correct mistakes dan share knowledge. Ini disebut "corrective behavior" dalam psikologi sosial. Ketika melihat informasi yang salah atau perilaku yang "bodoh", kita merasa compelled untuk memberikan koreksi.

 

Content creator yang pura-pura bodoh deliberately exploit tendency ini. Mereka tau bahwa audience akan feel satisfied ketika bisa "mengajarkan" something kepada creator tersebut melalui komentar.

 

The Relatability Factor - "Gue Juga Pernah Kayak Gini"

 

Beberapa konten "pura-pura bodoh" juga bekerja karena relatability. Meski di-exaggerate, sometimes the content reflects genuine confusion atau mistakes yang pernah dialami banyak orang. Audience yang pernah punya pengalaman serupa jadi relate dan share ke teman-teman mereka.

 

This creates a shared experience dimana people bond over common "bodoh" moments yang pernah mereka alami.

 

Dopamine Hit dari Superiority Complex

 

Secara neurological, merasa lebih pintar dari orang lain memberikan dopamine hit yang addictive. Ketika audience nonton konten creator yang "lebih bodoh", mereka dapat instant gratification dari feeling superior.

 

This psychological reward system bikin mereka want to come back for more dan actively seek similar content yang bisa provide the same ego boost.

 

Dark Side dari Fenomena Ini

 

Meski efektif untuk engagement, strategi "pura-pura bodoh" punya dark side yang concerning. Pertama, ini contribute to misinformation spread karena nggak semua audience realize kalau content-nya acting.

 

Kedua, ini bisa normalize "being dumb" behavior dan create unrealistic standards of entertainment. Plus, creator yang terlalu sering pura-pura bodoh bisa stuck dalam persona tersebut dan susah develop authentic content.

 

Lesson untuk Content Creator dan Audience

 

Buat creator: gunakan strategi ini dengan bijak dan responsibility. Jangan sacrifice authenticity demi engagement semata. Buat audience: be more critical dalam consuming content dan recognize manipulation tactics.

 

Understanding psychology di balik viral content bisa help kita jadi more conscious consumer dan creator. Remember, just because something viral doesn't mean it's good atau valuable!