Flexing di Media Sosial, Budaya Pamer Remaja dalam Gaya Hidup Konsumtif

Remaja sedang menggunakan smartphone dengan ekspresi kesal
Sumber :
  • https://www.freepik.com/free-photo/angry-young-handsome-male-barber-uniform-holding-looking-phone-isolated-white-background_13213411.htm

Lifestyle, VIVA Bali – Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan remaja. Namun, di balik kemudahan akses informasi dan konektivitas, muncul fenomena flexing, tindakan memamerkan kekayaan atau gaya hidup mewah di platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perubahan perilaku, tetapi juga menimbulkan dampak signifikan terhadap pola konsumsi dan kesehatan mental generasi muda.

Apa Itu Flexing?

Flexing merujuk pada perilaku memamerkan kekayaan atau gaya hidup mewah di media sosial. Hal ini dapat berupa unggahan foto barang-barang bermerek, liburan mewah, atau aktivitas konsumtif lainnya. Motivasi di balik flexing seringkali berkaitan dengan keinginan untuk mendapatkan pengakuan sosial, meningkatkan status, atau sekadar mengikuti tren yang sedang populer.

Dampak Psikologis dan Sosial

Penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap konten flexing dapat mempengaruhi perilaku konsumtif remaja. Menurut studi yang dilakukan oleh Universitas Asahan, penggunaan media sosial yang intensif mendorong remaja untuk mengikuti tren dan membeli produk yang tidak selalu dibutuhkan, demi memenuhi ekspektasi sosial dan mendapatkan pengakuan dari teman sebaya.

Selain itu, flexing juga dapat menimbulkan tekanan sosial yang luar biasa. Remaja merasa terdorong untuk mengikuti standar yang ditampilkan oleh para influencer dan selebriti, yang sering kali tidak realistis dan sulit dicapai. Hal ini dapat mengakibatkan perasaan rendah diri, kecemasan, dan bahkan depresi ketika mereka merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi tersebut.

Dampak Ekonomi

Dari segi ekonomi, flexing mendorong budaya konsumtif yang berlebihan. Ketika individu terus-menerus terpapar gaya hidup mewah di media sosial, mereka mungkin merasa terdorong untuk mengeluarkan uang lebih banyak untuk mengikuti tren tersebut. Hal ini dapat menyebabkan pengeluaran yang tidak perlu dan meningkatkan beban finansial, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah atau menengah.

Upaya Pengendalian

Untuk mengatasi dampak negatif dari flexing dan gaya hidup konsumtif, penting bagi semua pihak untuk mempromosikan nilai-nilai yang lebih positif dan realistis. Edukasi mengenai literasi keuangan, pentingnya menabung, dan perencanaan masa depan harus ditingkatkan. Selain itu, kita juga perlu mengingatkan diri sendiri dan orang lain bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu berasal dari materi dan kemewahan, tetapi dari hubungan yang bermakna, pencapaian pribadi, dan kontribusi positif kepada masyarakat.

Di tengah gemerlap dunia maya yang dipenuhi dengan kilauan kemewahan, kita dihadapkan pada pilihan, mengikuti arus pamer yang menyesatkan atau menapaki jalan kesederhanaan yang membebaskan. Flexing mungkin menawarkan kepuasan sesaat, tetapi kebahagiaan sejati terletak pada penerimaan diri dan hubungan yang autentik. Mari kita ajarkan generasi muda untuk melihat nilai dalam diri mereka, bukan dari apa yang mereka miliki, tetapi dari siapa mereka sebenarnya.