Tradisi Ajegeh Kobhur, Warisan Budaya Menjaga Kuburan Selama Tujuh Hari

Masyarakat Menjaga Kuburan
Sumber :
  • https://vt.tiktok.com/ZSDauJUot/

Tradisi, VIVA BaliTradisi menjaga kubur selama tujuh hari masih lestari di berbagai wilayah Indonesia, seperti Wonogiri, Gunungkidul, hingga Bondowoso. Praktik ini dikalangan masyarakat Madura dikenal dengan nama ajegeh kobhur. Bagi banyak orang tradisi tersebut bukan sekadar warisan budaya, melainkan juga simbol penghormatan kepada jenazah sekaligus wujud kepedulian sosial yang memperkuat kebersamaan warga.

 

Tujuan Jaga Kubur

Keberadaan tradisi jaga kubur dilandasi oleh alasan yang bersifat praktis maupun spiritual. Sebagian masyarakat meyakini bahwa penjagaan dilakukan untuk mencegah tindak kejahatan, seperti pencurian tali pocong atau bagian lain dari jenazah yang dikhawatirkan akan disalahgunakan untuk jimat atau praktik ilmu hitam. Dalam beberapa kasus, kekhawatiran semacam ini menjadi alasan utama mengapa keluarga dan warga setempat rela berjaga siang dan malam di sekitar makam.

Selain itu, tradisi ini diyakini mampu melindungi makam baru dari gangguan binatang liar. Ada keyakinan bahwa hewan buas dapat mengacak-acak tanah kuburan yang masih basah, sehingga penjagaan dilakukan agar jenazah tetap aman dan terhormat.

Makna yang tidak kalah penting adalah penghormatan kepada almarhum. Aktivitas berjaga menjadi sarana untuk terus mengirim doa bagi orang yang baru saja meninggal dunia. Pembacaan Al-Qur’an, tahlil, dan doa bersama dilakukan secara bergantian, menciptakan suasana teduh sekaligus menguatkan iman keluarga yang ditinggalkan.

 

Tata Cara Pelaksanaan

Rangkaian kegiatan penjagaan biasanya berlangsung selama tujuh hari penuh, meskipun di beberapa tempat dapat diperpanjang hingga empat puluh hari, tergantung adat setempat.

Penjagaan dilakukan secara bergiliran. Anggota keluarga, tetangga, dan kerabat mengatur jadwal agar makam tidak pernah sepi dari orang yang mendoakan atau sekadar duduk menemani. Mereka biasanya berbagi peran, baik pada siang hari maupun malam hari, sehingga penjagaan dapat berlangsung selama 24 jam.

Keterlibatan masyarakat menjadi ciri khas dari tradisi ini. Kehadiran warga tidak hanya sebatas berjaga, tetapi juga diiringi dengan kegiatan doa bersama atau membaca Al-Qur’an di sekitar makam. Kehangatan dan kebersamaan yang tercipta menjadikan suasana penjagaan terasa lebih bermakna.

Untuk mendukung kelancaran kegiatan, keluarga atau warga yang menjadi tuan rumah biasanya menyediakan fasilitas sederhana. Sajian kopi, teh, serta makanan ringan kerap disiapkan agar para penjaga tetap segar selama berjaga hingga larut malam.

 

Perspektif Keagamaan

Pandangan para ulama mengenai tradisi jaga kubur cukup beragam. Sebagian memandangnya sebagai amalan yang diperbolehkan, selama tidak mengandung unsur bid’ah, syirik, atau keyakinan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi kelompok ini, jaga kubur dipahami sebagai bagian dari penghormatan yang dilandasi niat baik serta semangat dakwah melalui kebersamaan.

Jaga kubur tujuh hari adalah bukti bahwa nilai spiritual, budaya, dan sosial dapat berpadu dalam harmoni. Selama dilaksanakan dengan niat baik dan tidak melanggar ajaran agama, tradisi ini tetap layak dilestarikan sebagai warisan luhur yang memperkaya khazanah kearifan lokal Nusantara.