Tradisi Tahlilan Jawa, Selamatan Keagamaan Malam Pertama Kematian, ke-7, ke-40, ke-100 Hingga ke-1000

Suasana Tradisi Tahlilan.
Sumber :
  • https://www.instagram.com/p/DOyLJvgE7FR/?igsh=dWhzaTQ5N3RyMmow

Budaya, VIVA Bali – Tahlilan menjadi salah satu ritual paling dikenal di tengah masyarakat Jawa. Upacara selamatan ini bertujuan mendoakan arwah orang yang telah meninggal dunia sekaligus memperkuat hubungan sosial antarwarga. Tradisi yang telah hidup berabad-abad ini tidak hanya berfungsi sebagai ibadah, tetapi juga sebagai simbol solidaritas dan media dakwah yang meleburkan nilai Islam dengan kearifan lokal Kejawen.

Tujuan Tahlilan

Ritual tahlilan mengandung makna spiritual yang mendalam. Inti pelaksanaannya adalah mendoakan almarhum agar mendapat keselamatan di akhirat. Namun, lebih dari itu, tahlilan memupuk kebersamaan dan mempererat silaturahmi antara keluarga yang berduka dengan masyarakat sekitar.

Tahlilan juga menjadi warisan akulturasi budaya. Para Wali Songo menggunakan selamatan ini sebagai sarana dakwah untuk mendekatkan Islam kepada masyarakat Jawa tanpa memutus tradisi leluhur. Keberadaan tahlilan memperlihatkan bagaimana nilai agama dan budaya dapat berjalan selaras.

Jadwal Pelaksanaan dalam Tradisi

Ritual ini memiliki tahapan waktu yang sudah menjadi kesepakatan sosial. Setiap momen memiliki nilai tersendiri bagi keluarga yang ditinggalkan.

Malam Pertama Kematian: Momentum awal untuk memohon ampunan bagi almarhum.

Hari ke-7 (Mitung Dina): Menguatkan iman keluarga serta memberi penghormatan terakhir.

Hari ke-40 (Matangpuluh): Menandai berakhirnya masa berkabung yang paling berat.

Hari ke-100 (Nyatus): Menghormati almarhum dan mengenangnya bersama orang-orang terdekat.

Hari ke-1000 (Nyewu): Peringatan seribu hari yang dilakukan keturunan atau kerabat dekat.

Mendhak Pisan dan Mendhak Pindho: Peringatan satu dan dua tahun setelah kematian yang menunjukkan keberlanjutan doa bagi almarhum.

Aspek Keagamaan dan Budaya

Tahlilan mencerminkan integrasi nilai Islam dengan kepercayaan Kejawen. Pembacaan tahlil, ayat-ayat Al-Qur’an, dzikir, dan shalawat menjadi inti kegiatan, sedangkan unsur lokal hadir dalam tata cara penyelenggaraan, seperti tumpeng dan hidangan selamatan.

Meskipun bukan kewajiban secara syariat, masyarakat Jawa memandang tahlilan sebagai bentuk penghormatan dan wujud kasih sayang terhadap orang yang telah berpulang.

Tata Cara Tahlilan

Acara tahlilan biasanya dimulai dengan duduk bersila bersama di ruang tengah rumah almarhum. Pemimpin doa memandu pembacaan tahlil, ayat Al-Qur’an, dan shalawat. Setelah itu, hadirin menikmati hidangan bersama, seperti nasi tumpeng atau berkat yang telah disiapkan keluarga. Rangkaian ini menjadi simbol berbagi rezeki sekaligus penutup yang menguatkan rasa kebersamaan.

Lebih dari sekadar ritual, tahlilan memperlihatkan kepedulian sosial yang tinggi. Kehadiran tetangga dan kerabat memberi dukungan moral kepada keluarga yang sedang berduka. Tradisi ini juga mengajarkan bahwa musibah kematian bukan hanya menjadi tanggungan keluarga, melainkan turut dirasakan oleh seluruh komunitas.