Gandrung Sewu Tradisi dan Budaya dengan Ribuan Penari Meriahkan Pantai Boom Banyuwangi

Illustrasi Gandrung Sewu tarian kolosal khas Banyuwangi.
Sumber :
  • https://unsplash.com/id/foto/wanita-dengan-pakaian-tradisional-berwarna-warni-memegang-kipas-KRy7-RH6lrs

Budaya, VIVA Bali – Festival Gandrung Sewu setiap tahun selalu menjadi magnet wisata dan budaya. Ribuan penari tampil serentak di bibir Pantai Boom, Banyuwangi, dengan latar laut biru dan Gunung Ijen yang megah di kejauhan. Gerakannya penuh harmoni, musik gamelan mengiringi dengan ritme rancak, dan kostum merah-emas penari berkilau diterpa cahaya matahari sore. Suasana inilah yang membuat Gandrung Sewu selalu ditunggu wisatawan domestik maupun mancanegara.

Sejak resmi digelar pertama kali pada 2012, Gandrung Sewu menjadi simbol identitas Banyuwangi. Tarian Gandrung yang semula hanya dipentaskan dalam acara adat atau hajatan masyarakat, kini dipresentasikan secara kolosal dengan ribuan penari. Laman Indonesia.go.id menyebut, “Gandrung Sewu adalah wajah Banyuwangi, sebuah festival yang memadukan seni, adat, dan kebersamaan masyarakat.”

Tak hanya atraksi seni, festival ini juga menjadi bentuk penghormatan kepada leluhur Using, suku asli Banyuwangi, yang menjadikan tari Gandrung sebagai warisan budaya turun-temurun.

Nama Sewu, yang berarti seribu, melambangkan kekuatan kolektif dan persatuan. Ribuan penari perempuan, laki-laki, bahkan pelajar sekolah, menari di tepi laut dalam barisan rapi membentuk lautan manusia. Pakaian mereka dominan merah dan emas melambangkan semangat, kebahagiaan, dan kejayaan.

Setiap tahun, festival ini mengangkat tema berbeda yang sarat makna. Pada 2024, tema Payung Agung dipilih sebagai simbol perlindungan budaya dan keberlanjutan tradisi. Kemenparekraf menegaskan, “Gandrung Sewu bukan hanya pertunjukan seni, tapi juga sarana edukasi tentang filosofi hidup dan kearifan lokal masyarakat Banyuwangi.”

Festival Gandrung Sewu bukan hanya menampilkan pertunjukan seni, tetapi juga mendorong ekonomi lokal. Ribuan wisatawan yang hadir memberi dampak langsung pada pelaku UMKM, pedagang kuliner, hingga perajin busana adat. Penjahit, penata rias, hingga pembuat aksesoris tradisional ikut terlibat, menjadikan festival ini sebagai ajang gotong royong budaya sekaligus penggerak ekonomi.

Antara News mencatat, Gandrung Sewu bersama Banyuwangi Ethno Carnival masuk dalam daftar Kharisma Event Nusantara (KEN) 2025, sebuah pengakuan dari Kemenparekraf atas kualitas dan daya tarik festival budaya di Banyuwangi.

Menurut Edi Dwi Riyanto Universitas Airlangga, tari Gandrung berakar dari tradisi agraris masyarakat Using. Gandrung awalnya adalah ekspresi rasa syukur atas panen padi, kemudian berkembang sebagai sarana hiburan rakyat, hingga akhirnya menjadi simbol budaya Banyuwangi. Edi Dwi Riyanto Menjelaskan bahwa, “Gandrung Sewu adalah bentuk pelestarian sekaligus ruang baru bagi generasi muda Banyuwangi untuk tetap mencintai dan melestarikan budayanya.”

Festival biasanya digelar menjelang senja, saat matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Gemuruh gamelan berpadu dengan tabuhan kendang, teriakan penyemangat, dan gerak seribu penari yang kompak membuat penonton seakan terhanyut dalam pusaran budaya.
Tak jarang, wisatawan larut dalam suasana: mengabadikan momen, ikut berjoget kecil, atau sekadar duduk menikmati harmoni seni di bawah langit senja Banyuwangi. Momen ini menghadirkan rasa haru, bangga, sekaligus kagum pada kekuatan budaya nusantara.

Lebih dari sekadar tontonan, Gandrung Sewu adalah napas budaya Banyuwangi yang terus hidup dan bertransformasi. Dari panggung pantai hingga kalender nasional, festival ini membuktikan bahwa seni tradisi bisa menjadi magnet kebanggaan sekaligus perekat kebersamaan.