Teba Bali Jadi Contoh Gotong Royong Modern dalam Kelola Sampah Organik
- Aditya Nara unsplash.com/id/foto/sekelompok-orang-berdiri-di-sekitar-di-tengah-hujan-AaXjg5TEeTk
Budaya, VIVA Bali –Tradisi teba di Bali, yang secara turun-temurun dikenal sebagai halaman belakang rumah untuk menampung limbah organik, kini semakin dilirik sebagai solusi lokal atas permasalahan sampah modern. Keberadaan teba tidak hanya berfungsi sebagai ruang ekologis, tetapi juga memperkuat semangat gotong royong yang telah menjadi identitas masyarakat Indonesia.
Dalam sebuah video di Instagram, tampak masyarakat Bali melakukan kegiatan bersama untuk mengolah limbah organik rumah tangga. Mereka memisahkan sisa dapur, menimbun sampah organik, dan memanfaatkannya sebagai pupuk alami untuk tanaman di pekarangan. Tradisi ini menunjukkan bahwa di tengah arus modernisasi, nilai kebersamaan masih mengakar kuat.
Gotong royong telah lama disebut sebagai “hadiah Indonesia untuk komunitas global.” Menurut laporan Antaranews, nilai ini merupakan modal sosial yang berkontribusi besar dalam membangun solidaritas di tengah masyarakat. Dalam konteks pengelolaan lingkungan, gotong royong menjadi kunci agar setiap rumah tangga merasa memiliki tanggung jawab bersama.
“Gotong royong adalah jantung kehidupan sosial Indonesia. Dengan prinsip ini, masalah yang besar dapat terasa lebih ringan karena dipikul bersama-sama,” demikian penekanan dalam publikasi resmi pemerintah.
Penelitian dari Nyoman Diah Utari Dewi, dkk yang diterbitkan melalui ResearchGate menyebutkan bahwa teba di Desa Adat Cemenggaon, Kecamatan Sukawati, Gianyar, telah berkembang menjadi sistem pengelolaan sampah organik yang mendukung implementasi zero waste. Masyarakat setempat berhasil memanfaatkan limbah dapur untuk kompos, menggunakannya sebagai pakan ternak, dan mengurangi ketergantungan pada tempat pembuangan akhir (TPA).
Sistem ini menunjukkan bahwa kearifan lokal mampu menjawab tantangan modern. Dengan memanfaatkan potensi rumah tangga, teba menjadikan masyarakat lebih mandiri dalam mengolah sampah sekaligus menciptakan siklus yang ramah lingkungan.
Dikutip melalui Portal sains Warstek menegaskan bahwa konsep teba adalah bukti nyata integrasi tradisi dengan prinsip keberlanjutan. Menurutnya, jika sistem ini direplikasi secara lebih luas, maka pengelolaan sampah organik di Indonesia dapat lebih terukur dan berdaya guna.
“Teba bukan hanya soal tradisi, tetapi juga strategi berkelanjutan yang mendekatkan masyarakat pada gaya hidup ramah lingkungan,” tulis Warstek dalam artikelnya.
Dengan demikian, teba bisa dipandang sebagai inovasi ekologis berbasis budaya. Masyarakat tidak perlu mengandalkan teknologi modern yang mahal, cukup memanfaatkan pengetahuan lokal yang diwariskan leluhur.
Selain manfaat lokal, praktik ini sejalan dengan agenda global dalam mengurangi emisi dan mendukung ekonomi sirkular. Laporan dari berbagai organisasi lingkungan internasional menekankan pentingnya solusi berbasis masyarakat dalam menghadapi krisis sampah dan perubahan iklim.
Bali, melalui teba, memberi contoh bagaimana sebuah tradisi dapat menjawab tantangan global. Dari pekarangan rumah, masyarakat sudah turut serta menjaga bumi.
“Melalui teba, kami tidak hanya membersihkan lingkungan, tetapi juga menjaga nilai luhur kebersamaan. Semua keluarga di banjar ikut terlibat, dari anak-anak hingga orang tua,” ujar seorang tokoh masyarakat dalam video yang beredar di media sosial.
Pernyataan ini menggambarkan bahwa teba tidak hanya memberi manfaat ekologis, tetapi juga menjadi ruang edukasi generasi muda tentang pentingnya gotong royong dan keberlanjutan.
Dengan kombinasi tradisi, partisipasi masyarakat, dan nilai gotong royong, teba Bali telah menjadi contoh nyata pengelolaan sampah organik yang efektif dan berkelanjutan. Di tengah gempuran teknologi modern, solusi berbasis kearifan lokal seperti inilah yang justru menawarkan jawaban praktis sekaligus memperkuat identitas budaya bangsa.