Dimensi Adat Dalam Kehidupan Orang Aceh
- https://acehprov.go.id/berita/kategori/seni-budaya-hiburan/dimensi-adat-dalam-kehidupan-orang-aceh
Gumi Bali, VIVA Bali – Adat adalah kata yang diderivasi secara etimologis dari unsur bahasa Arab, yaitu "ada, ya'udu 'adah" atau al-'uruf'. Sementara kata al-'uruf itu sendiri adalah bentuk jamak dari kata, 'arafa, ya'rifu, 'uruf'; mengandung makna "tikrar" perulangan. "Setiap perkataan, ucapan dan perbuatan yang diulang- ulang secara bersahaja dalam kaitannya dengan masyarakat disebut adat.
Sedangkan pengertian adat atau 'uruf secara semantik adalah tradisi atau kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang dalam kurun waktu yang relatif lama. Atau praktek yang sudah menjadi tradisi yang selalu dipakai, baik untuk kebiasaan individual maupun kelompok. Kebiasaan individual di sini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang secara pribadi pada sikap- sikapnya, seperti kebiasaan tidur, makan, jenis makanannya, perbuatan dan kebiasaan perbuatannya. Sedangkan kebiasaan kelompok berarti kebiasaan yang dilakukan oleh suatu komunitas atau mayoritas, baik berupa perbuatan-perbuatan yang secara sadar ataupun yang tidak berasal dari kehendak (pilihan) mereka. Perbuatan tersebut bisa berupa kebiasaan terpuji maupun tercela.
Dilansir dari acehprov.go.id, Definisi adat dan 'uruf adalah sama saja dalam konteks paradigma hukum adat Aceh, tidak ada pemisahan makna antara keduanya. Prinsip ini merujuk pada pemikiran dan definisi yang ditulis oleh Sabhi Mahmassani. Dalam pada itu, Hakim Nyak Pha, memberi pengertian tentang 'uruf.
'Uruf adalah suatu kebiasaan yang sudah diterima bersama dan telah dikukuhkan sebagai dan terbaik yang harus dipertahankan, dilestarikan dan dituruti serta dipatuhi oleh warganya. Sehingga bila seseorang warga bertingkah laku, berbuat atau bersikap menyimpang atau tidak sesuai dengan 'uruf yang berlaku, maka akan dikenai sanksi antara lain berupa penghinaan, pelecehan atau pengecualian dari pergaulan oleh masyarakatnya.
Tujuan diberlakukan sanksi 'uruf adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat, dapat menjadi cerminan dari kepribadian suatu suku bangsa. Sebab ia merupakan salah satu bentuk perwujudan dari jiwa bangsa yang bersangkutan. Dalam falsafah hidup orang Aceh, tercantum ajaran:
Umeung meu ateung, ureung meu peutua Rumoh meu adat, pukat meu kaja (Sawah berpematang, orang berpemimpin, Rumah bertatakrama, pukat bertali-temali)
Ungkapan di atas memberi pengertian bahwa dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh, dibatasi oleh hukum dan 'uruf, ibarat sawah yang dibatasi oleh pematang. Demikian pula setiap manusia yang hidup bersama harus mempunyai pimpinan serta diatur oleh adat istiadat atau 'uruf. Yang dimaksud pimpinan geuchik, tuha peut, tuha lapan dan tokoh masyarakat lainnya. Tokoh- tokoh ini menjadi motor penggerak sistem hukum terutama terkait dengan agama dan 'uruf. Jika dalam kehidupan masyarakat menginginkan hasil yang baik (seimbang, rukun, tenteram, aman, damai), maka agama dan 'uruf harus dilibatkan, ibarat sebuah pukat yang mempunyai jaring dan tali-temali, yang menghambat ikan keluar dari jaring pukat tersebut.
Aktualisasi prinsip hidup masyarakat yang diwarnai nilai agama Islam, maka seluruh gerak-gerik, tingkah polah dan interaksi sosial, diberi bingkai atau dibungkus dengan 'uruf. Sebab 'uruf dalam masyarakat Aceh merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran agama yang tampak sebagai gerak nyata dari kehidupan.
Aceh pada permulaan abad Sultan Ali Mughayatsyah (1514-1550 M), penduduknya semua beragama Islam. Dengan dibantu oleh kepala-kepala bawahan, petugas-petugas agama dan lain- lain. Ajaran Islam berkembang sampai ke pelosok-pelosok Aceh. Supaya ajaran-ajaran tersebut
Tidak tertengun-tengun maka dibaringilah dengan adat Aceh yang dianggap oleh penduduknya diperbuat dan diatur yang berwajib.
Orang Aceh selalu patuh pada perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka yakin bahwa ajaran agama Islam akan mensejahterakan mereka di dunia dan di akhirat kelak. Yang berkuasa di Aceh selalu menjalankan hukum Islam (fikih Islam) dengan baik, sehingga rakyat Aceh tidak melanggar hukum tersebut.
Jika 'uruf berfungsi dengan baik dalam kehidupan masyarakat Aceh maka akan muncul sebuah institusi yang berfungsi hukum fikih (alat kontrol) bagi kehidupan masyarakat, baik dalam pelaksanaan ibadah ataupun dalam muamalah secara berkesenambungan. Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7 tahun 2000 merupakan legalitas bagi pelaksaan 'uruf sesuai dengan nilai-nilai keacehan. Penyelenggaraan kehidupan adat atau 'uruf, dengan melakukan pengembangan pada lembaga adat," yakni sebagai suatu organisasi masyarakat adat yang dibentuk oleh suatu komponen masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat atau 'uruf Aceh.
Definisi yang dikemukan dalam Perda ini memberi gambaran bahwa lembaga adat sebagai alat kontrol terhadap perilaku masyarakat yang mempunyai kewenangan dalam memberi dan menjatuhkan sanksi bagi setiap orang yang melanggarnya dan sanksi hukum yang diberikan oleh lembaga adat bersifat mengikat bagi semua komponen masyarakat baik pejabat pemerintah, pemuka-pemuka/tokoh-tokoh adat maupun masyarakat biasa.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa 'uruf merupakan sebuah pranata sosial dalam masyarakat Aceh yang tersusun secara sistematis, memiliki kewenangan dalam mengatur hubungan antarmasyarakat, antara pemerintah dan rakyatnya yang harus dipertangungjawabkan kepada Sang Khaliqnya.