Bukan Mitos Biasa! Ini Makna Mistis di Balik Larangan Nikah Bulan Suro

Suro datang, tradisi diuji oleh cinta
Sumber :
  • https://id.pinterest.com/pin/220746819228281959/

Budaya, VIVA Bali – Bagi masyarakat Jawa, Bulan Suro bukan sekadar penanda awal tahun dalam kalender Jawa, melainkan simbol dari masa yang sakral, penuh dengan muatan spiritual, kesunyian, dan pengendalian diri.

Bulan ini identik dengan laku prihatin, puasa mutih, semedi, tirakat, serta refleksi batin yang mendalam. Di tengah aura sakral tersebut, muncul sebuah pantangan yang begitu lekat dalam budaya Jawa, yaitu larangan menikah di Bulan Suro. Meski zaman sudah berubah, banyak orang Jawa tetap memegang teguh tradisi ini. Lalu, sebenarnya apa alasan di balik larangan tersebut?

Kepercayaan ini berakar kuat dari warisan leluhur yang telah hidup selama ratusan tahun. Dalam pandangan budaya Jawa, Bulan Suro adalah masa yang cocok untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, bukan untuk menggelar pesta atau perayaan besar seperti pernikahan.

Menikah di bulan ini dianggap "tidak sopan" terhadap kesakralan waktu yang telah diberi energi spiritual oleh alam semesta. Tak heran jika muncul petuah yang sering diucapkan orang tua Jawa: "Aja mantu ing Suro, ben slamet uripmu"—jangan menikah di Bulan Suro agar hidupmu selamat.

Sebagian besar masyarakat Jawa juga percaya bahwa menikah di Bulan Suro bisa membawa nasib buruk bagi rumah tangga. Kata yang paling sering muncul adalah “kualat”, istilah yang merujuk pada kutukan atau konsekuensi dari melanggar aturan tak tertulis budaya.

Banyak pasangan muda yang akhirnya mengurungkan niat menikah pada bulan ini, bukan karena takut secara logis, tetapi karena merasa tak enak hati kepada orang tua, atau merasa tidak nyaman jika kelak terjadi sesuatu yang buruk dalam pernikahan mereka.

Pantangan ini bukan hanya mitos yang melayang tanpa dasar. Dalam penelitian yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, fenomena ini benar-benar nyata. Di Desa Ngampelrejo, Tuban, misalnya, larangan menikah di Bulan Suro begitu kuat dipegang masyarakat. Mereka percaya bahwa menikah di bulan itu bisa menyebabkan perceraian, keretakan rumah tangga, bahkan kematian salah satu pasangan. Penelitian serupa di komunitas Jawa perantauan seperti di Aceh Singkil juga menemukan pandangan yang hampir sama. Walau tidak semua warga memercayainya secara total, banyak yang tetap menghindarinya demi keharmonisan keluarga dan masyarakat sekitar.

Namun demikian, jika dilihat dari sudut pandang agama, terutama Islam, tidak ada dalil yang melarang seseorang untuk menikah di Bulan Muharram—nama lain Bulan Suro dalam kalender Hijriyah. Bahkan, dalam Islam, pernikahan adalah sunnah yang dianjurkan kapan saja sepanjang niatnya baik. Ulama dan tokoh agama menyampaikan bahwa tidak ada yang salah secara syariat dengan menikah di bulan ini. Justru pada tanggal 10 Muharram, umat Islam dianjurkan melakukan amal baik dan berpuasa sebagai bentuk penghormatan terhadap peristiwa Asyura.

Di sisi lain, masyarakat Jawa memang tidak selalu mengaitkan larangan ini dengan agama. Tradisi ini lebih merupakan hasil akulturasi budaya yang mencampurkan kepercayaan animisme, Hindu-Buddha, dan Islam. Oleh karena itu, meski tidak diwajibkan, penghormatan terhadap Bulan Suro tetap dijaga sebagai bentuk keselarasan dengan alam dan kearifan lokal. Bahkan beberapa tokoh adat meyakini bahwa kekuatan gaib seperti roh leluhur dan makhluk halus sangat aktif di Bulan Suro, sehingga kegiatan besar seperti pernikahan sebaiknya dihindari demi keselamatan.

Menariknya, di era modern seperti sekarang, pandangan tentang larangan menikah di Bulan Suro mulai mengalami pergeseran. Generasi muda mulai mempertanyakan logika di balik tradisi ini. Sebagian memilih untuk tetap menikah di bulan ini karena alasan praktis, seperti biaya yang lebih murah atau gedung yang lebih mudah dipesan. Sementara sebagian lainnya tetap menghormati tradisi, meski tidak memercayainya sepenuhnya. Mereka menunda pernikahan bukan karena takut, tetapi sebagai bentuk kompromi terhadap kehendak orang tua dan adat istiadat.

Fenomena ini menunjukkan bahwa tradisi dan modernitas tidak harus saling bertentangan. Justru di sinilah kearifan budaya berperan penting: sebagai pedoman hidup yang bisa dirawat, ditafsirkan ulang, dan disesuaikan dengan zaman. Larangan menikah di Bulan Suro seharusnya tidak hanya dilihat sebagai mitos semata, tetapi sebagai simbol dari penghormatan terhadap nilai kesucian, ketenangan batin, dan kepekaan terhadap siklus kehidupan.

Pada akhirnya, menikah di Bulan Suro atau tidak, adalah pilihan. Tidak ada yang mutlak benar atau salah. Namun memahami alasan di balik larangan tersebut bisa membantu kita untuk lebih menghargai kekayaan budaya yang diwariskan nenek moyang, sambil tetap menggunakan akal dan nurani dalam mengambil keputusan. Karena hidup yang seimbang adalah tentang bisa berjalan di antara dua dunia: dunia yang tampak dan dunia yang tak kasat mata.