Sekala Niskala, Dua Dunia dalam Kehidupan Bali

Canang Sari: pukulan estetika dan nuansa ritual yang melibatkan energi
Sumber :
  • https://www.baliholidaysecrets.com/wp-content/uploads/2025/03/Canang-Sari-Balinese-Offerings.jpg

Gumi Bali, VIVA Bali – Masyarakat Bali meyakini adanya dua lapisan realitas: dunia lahir yang kasat mata (sekala) dan dunia gaib tak tampak (niskala). Konsep ini menjadi filosofi hidup, di mana keharmonisan terjadi jika kedua dunia tersebut seimbang. Misalnya, paduan warna hitam-putih pada kain poleng menggambarkan Rwa Bhineda dua sifat bertentangan (baik-buruk, siang-malam) yang dijaga keseimbangannya. Dalam keseharian, pikiran dan perilaku orang Bali selalu menyertakan makna spiritual, sehingga sekala dan niskala berjalan beriringan.

Canang Sari: Persembahan Sehari-hari

Salah satu contoh nyata paduan sekala–niskala adalah canang sari, persembahan harian umat Hindu Bali. Canang sari terdiri dari anyaman daun kelapa berisi bunga, beras, dan dupa yang diletakkan di altar rumah atau pura setiap pagi. Secara kasat mata (sekala) canang sari berwujud estetis dan harum, namun maknanya batiniah (niskala) ungkapan syukur kepada para dewata.

Dalam tradisi Bali, tugas menyelaraskan hidup dengan Tuhan, alam, dan sesama (Tri Hita Karana) dijalankan melalui ritual sederhana ini. Dengan memberi canang sari, orang Bali percaya sedang menjaga keharmonisan antara manusia dan kekuatan spiritual alam semesta.

Nyejer dan Penyucian Pusaka

Selain canang sari, upacara-upacara keagamaan juga memadukan dunia nyata dan ghaib. Misalnya, setelah ritual melasti (pembersihan dengan air), umat Hindu Bali menggelar Upacara Nyejer. Dalam Nyejer, simbol-simbol suci seperti pretima (wahana berhala) dan pecanangan (tiang banten) distanakan atau diposisikan dengan tegak di pura. Maksudnya, menghadapkan benda-benda suci agar “Tuhan” secara niskala hadir di tatanan fisik. Upacara Nyejer bermakna menegakkan keyakinan kepada Tuhan.

Contoh lain, benda pusaka seperti keris dan arca keluarga yang dipercaya dihuni leluhur sering disucikan lewat ritual khusus. Dalam Upacara Pasopati, misalnya, keris pusaka disucikan dari pengaruh buruk (energi adarma) dan didoakan agar bersih dari energi negatif. Proses ini melibatkan doa-doa dan sesajen kepada Sang Hyang Widhi dan para leluhur, untuk menjaga kekuatan spiritual pusaka tersebut. Dengan cara ini, umat Bali menghormati pusaka yang ada di dunia nyata (sekala) sekaligus mengakui keberadaan roh leluhur di baliknya (niskala).

Arsitektur Asta Kosala Kosali

Konsep Asta Kosala Kosali dalam arsitektur tradisional Bali adalah bukti lain bagaimana sekala-niskala menyatu. Tata letak bangunan di pekarangan rumah diatur sedemikian rupa berdasarkan filosofi kosmologis dan proporsi manusia. Sebagai contoh, bagian depan bangunan (arah timur atau disebut hulu) selalu dibuat lebih tinggi dan dikhususkan sebagai pura keluarga (merajan), karena dipercaya paling dekat dengan sumber energi positif.

Sementara, dapur dan lumbung diletakkan di arah tertentu sesuai posisi Dewa Api dan Dewa Air. Seluruh ukuran bangunan luas bale, tinggi gapura, dan susunan ruang diukur proporsional menurut skala tubuh pemilik. Jika rumah dibangun sesuai Asta Kosala Kosali (dengan upacara adat dan hari baik), dipercayai kehidupan penghuninya akan seimbang lahir-batin. Desain seperti ini menggarisbawahi keyakinan Bali bahwa tubuh manusia (sekala) dan energi ruang di sekitarnya (niskala) harus selaras.

Keharmonisan Sehari-hari

Dengan demikian, keseharian orang Bali selalu melibatkan dua dunia tersebut. Apa yang tampak sederhana meletakkan canang sari, menata bangunan rumah, atau merawat pusaka sesungguhnya mengandung makna spiritual mendalam. Melalui kesadaran akan sekala dan niskala, masyarakat Bali meyakini harmoni lahir batin terjaga. Ritual dan tradisi yang tampak “sakral” itu menjadi bagian alami dari kehidupan sehari-hari, membentuk pandangan hidup di mana yang nyata dan tak nyata saling berpadu.