Anak Dicap Nakal? Waspadai Dampaknya Lebih Seram dari yang Dibayangkan!

Ilustrasi seorang anak bermain dengan boneka.
Sumber :
  • https://www.pexels.com/photo/boy-sitting-with-brown-bear-plush-toy-on-selective-focus-photo-39369/

Lifestyle, VIVA Bali – Melabeli anak sebagai “nakal” mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang tua. Namun di balik kata yang sederhana itu, bisa tersembunyi potensi besar yang menyeret anak pada perilaku menyimpang hingga tindak kriminal.

Durasi Reels Ideal Itu 7 Detik, 15 Detik, atau 30 Detik?

Psikolog klinis Phoebe Ramadina, M.Psi., menyampaikan bahwa stigma negatif dari lingkungan, terutama dari orang tua, bisa memengaruhi cara anak memandang dirinya sendiri dan masa depannya.

“Anak yang mengalami kesulitan regulasi emosi bisa merasa putus asa dan tidak melihat gunanya memperbaiki diri jika terus-menerus dilabeli sebagai anak nakal,” ujar Phoebe dalam diskusi kesehatan di Jakarta, Selasa, 22 Juli 2025, dikutip dari Antara.

Legenda WWE Hulk Hogan Tutup Usia, Fans Berduka

Menurutnya, anak-anak secara kognitif belum matang. Mereka belum sepenuhnya mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta masih kesulitan mengendalikan dorongan emosi dan impulsivitas.

Selain dari dalam diri anak, faktor eksternal seperti pola asuh keras, lingkungan penuh kekerasan, atau dorongan dari teman sebaya juga berkontribusi besar terhadap kenakalan yang berkembang menjadi tindak kriminal.

Review A Normal Woman Netflix Indonesia, Film Thriller Marissa Anita Terbaru

“Beberapa anak ikut dalam tindakan kriminal karena ingin diterima oleh lingkungannya. Ketika dorongan emosi dan tekanan sosial tak mampu diatur, maka mereka bisa terdorong untuk melakukan kekerasan,” jelasnya.

Phoebe menegaskan bahwa setiap anak membutuhkan pendekatan yang tepat dan dukungan emosional yang kuat untuk membentuk karakter mereka secara sehat.

Jika anak sudah terlibat kejahatan namun belum masuk dalam sistem hukum, pendekatan yang disarankan adalah pendekatan restoratif dan rehabilitatif, bukan hukuman semata.

“Pendekatan ini berfokus pada pemulihan dan pengembangan kemampuan anak agar bisa bersikap lebih adaptif di masa depan,” katanya.

Penting pula dilakukan pemeriksaan psikologis untuk memahami akar masalah dari perilaku anak. Apakah karena trauma, gangguan emosi, atau tekanan lingkungan. Hasil asesmen ini menjadi dasar penanganan dan intervensi yang lebih tepat.

Phoebe menambahkan bahwa selain fokus pada anak, keluarga juga perlu diberikan pendampingan untuk memperbaiki pola komunikasi, pola asuh, dan dukungan di rumah. Karena keluarga adalah lingkungan utama dan paling berpengaruh dalam membentuk perilaku anak.

“Anak belajar dari interaksi paling awal di rumah. Jika hubungan ini tidak sehat, maka risiko perilaku menyimpang semakin besar,” ujarnya.

Sebagai bagian dari peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto menyampaikan bahwa sebanyak 1.272 anak binaan pemasyarakatan di Indonesia diusulkan untuk menerima remisi atau pengurangan masa hukuman.

Langkah ini menjadi bentuk kepedulian dan harapan bahwa setiap anak, meski pernah salah langkah, tetap memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan membangun masa depan yang lebih baik.