Wisata Zero Visual Pengalaman Bali Hanya dengan Sentuhan, Suara, dan Aroma

Pura Uluwatu Saat Senja
Sumber :
  • https://disparda.baliprov.go.id/wp-content/uploads/2020/04/uluwatu2.jpg

Wisata, VIVA Bali – Konsep wisata “Zero-Visual” (atau wisata nol-visual) merujuk pada pengalaman pariwisata yang menitikberatkan pada indera selain penglihatan, yakni sentuhan (tactile), pendengaran (auditory), dan penciuman (olfactory). Dalam paradigma ini, kunjungan ke destinasi tidak lagi didominasi oleh panorama visual, melainkan oleh stimulasi multisensori yang terintegrasi, dengan tujuan menciptakan keterlibatan emosional dan kognitif yang lebih mendalam bagi wisatawan.

Berangkat dari teori grounded cognition, multisensori stimuli termasuk suara, aroma, dan sentuhan telah terbukti meningkatkan kepuasan dan efek restoratif dalam kunjungan wisata alam maupun budaya.

 

Bali, Destinasi Multisensori

 

Sebagai salah satu destinasi utama nasional, Bali selama ini dikenal karena keindahan visualnya dari terasering sawah di Ubud hingga pura-pura di Uluwatu. Namun, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mendorong pengembangan fasilitas pariwisata yang aksesibel untuk semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas netra. Laporan Kinerja Birkom 2023 menegaskan pentingnya infrastruktur ramah disabilitas untuk menjamin layanan inklusif di destinasi wisata, termasuk di Pulau Dewata.

 

Elemen Sentuhan, Eksplorasi Tactile di Bali

1. Kerajinan Ukiran Kayu dan Batu

Desa Mas (Gianyar) dan Desa Tegallalang (Ubud) terkenal dengan galeri ukiran kayu dan batu. Wisatawan dapat meraba detail motif ukiran klasik Bali, dari pola fauna hingga relief cerita Ramayana dibimbing oleh pemandu yang menjelaskan teknik pahat tradisional dan makna simbolis tiap lekukan.

2. Tenun Endek dan Ikat


Di Desa Singaraja, proses pembuatan tenun ikat memungkinkan peserta mengenal tekstur benang, percepatan alat tenun tradisional, serta suhu hangat kain yang baru selesai dijahit. Pendampingan langsung oleh pengrajin memberi kesempatan memahami warisan budaya lewat indera peraba.

3. Pemberdayaan Tunanetra di Kuta


Penelitian Waruwu & Adhi (2019) mencatat pemberdayaan tunanetra sebagai pemandu sentuhan (cleaning service, operator CCTV) di objek wisata Kuta, namun masih minim program khusus wisata tactile bagi penyandang netra.

 

Elemen Suara, Harmoni Alam dan Tradisi

 

1. Alunan Gamelan dan Joged Bumbung


Gamelan gambuh atau joged bumbung (angklung bambu) di Desa Tenganan memproduksi resonansi suara bambu yang hangat. Wisatawan dapat ‘menyentuh’ irama melalui nyala getaran bambu, merasakan denyut nada yang menggugah emosi.

2. Suara Alam


Gemericik air terjun Tegenungan, desiran angin di Hutan Monyet Sangeh, hingga deru ombak di Pantai Sanur membentuk soundscape alami yang mampu menenangkan pikiran. Studi di area rekreasi hutan di Taiwan menunjukkan efek restoratif dan kepuasan pengunjung sangat dipengaruhi oleh stimulasi auditif di alam.

3. Audio Augmented Reality (AR)


Inisiatif Virtual Vauxhall Gardens menunjukkan potensi audio AR untuk memperkaya pengalaman budaya tanpa visual. Di Bali, prototipe serupa sedang dikembangkan di candi Pura Melanting dengan narasi suara terpadu sesuai lokasi situs dan simbol keagamaan.

 

Elemen Aroma, Wewangian Bali

1. Aroma Kamboja dan Melukat

Upacara Melukat di Pura Tirta Empul menghadirkan campuran harum kemboja (plumeria), kemenyan, dan air suci. Aroma inilah yang menjadi salah satu daya pikat budaya Bali, menstimulasi memori kuno dan rasa sakralitas.

2. Rempah di Pasar Tradisional


Pasar Ubud dan Pasar Badung dipenuhi wewangian jahe, cengkih, dan kayu manis. Lewat program “Rasa & Aroma Bali”, peserta diajak menutup mata, meraba rempah, lalu menebak jenis dan kegunaannya dalam masakan Bali.

3. Spa Tradisional Bali


Pijat tradisional Bali dengan minyak urut berbasis daun serai, minyak kelapa, dan bunga kantil menciptakan pengalaman aroma-terapi yang mendalam. Penelitian dalam konteks hotel menyatakan bahwa elemen aroma secara signifikan memengaruhi persepsi kualitas layanan dan keputusan pembelian tamu.

 

Contoh Program “Zero-Visual” di Bali

1. Sea Therapy Tactile Snorkeling (Padang Bai)


Wisata laut tanpa kacamata snorkel pengunjung menyentuh bentuk koral dan biota laut (pandu ketat menjaga keselamatan), sambil mendengar suara arus dan instruksi audio di headset kedap air.

2. Blindfolded Jungle Walk (Ubud)


Penelusuran hutan Ubud sambil terpejam dipandu staf khusus, mengandalkan suara alam dan ­aroma dedaunan basah.

3. Audio-Guide Pura Virtual


Paket tur digital Pura Ulun Danu Beratan menggunakan VR minimal visual: fokus pada narasi suara kisah legenda Danau Beratan, lengkap efek air dan desiran bambu.

4. Spa Eksklusif dengan Sensory Deprivation


Ruang pijat terisolasi cahaya, hanya mengandalkan aroma dan musik relaksasi metode ini menajamkan persepsi aroma dan sentuhan terapeutik.

 

Manfaat dan Dampak bagi Wisatawan

1. Restorativeness


Studi multisensori di hutan rekreasi Taiwan membuktikan bahwa suara, aroma, dan sentuhan berkontribusi positif terhadap persepsi restoratif pengunjung, bahkan lebih tinggi daripada stimulasi visual.

2. Inklusi Disabilitas


Dengan mengedepankan kegiatan tanpa ketergantungan pada penglihatan, wisata ini memberdayakan tunanetra maupun kelompok umum untuk merasakan kebudayaan secara setara.

3. Diferensiasi Destinasi


Bali dapat memperluas pasar wisatawan pencari pengalaman unik (experiential tourism) yang mencari lebih dari sekadar panorama visual.

 

Infrastruktur dan Tantangan

 

Meskipun beberapa objek wisata di Bali telah menyediakan fasilitas ramah disabilitas seperti Pantai Sanur dengan jalur landai kursi roda, serta Bali Safari and Marine Park yang dilengkapi toilet dan jalur akses difabel program “Zero-Visual” masih memerlukan standarisasi pemandu khusus, pelatihan audio-deskripsi, serta penyediaan ruang sensori yang aman dan higienis.

 

Wisata “Zero-Visual” menghadirkan paradigma baru dalam pariwisata Bali, memaksimalkan sentuhan, suara, dan aroma untuk menciptakan pengalaman imersif dan inklusif. Dengan dukungan kebijakan pemerintah dan kolaborasi antara akademisi, pelaku usaha, serta komunitas lokal, Bali berpotensi menjadi pionir destinasi multisensori berskala global.