Perlindungan Ojol Indonesia Ketinggalan Zaman, Pakar Sarankan Tiru Malaysia dan Singapura

Perlindungan ojol yang jelas sangat diharapkan Mitra
Sumber :
  • Grab Indonesia

Jakarta, VIVA BaliPerlindungan ojol di Indonesia dinilai ketinggalan zaman. Pakar menekankan perlunya regulasi ketat seperti di Malaysia dan Singapura untuk lindungi driver.

Perlindungan untuk pengemudi ojek daring di Indonesia dianggap masih tertinggal dibanding negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. 

Arif Novianto, peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menekankan pentingnya regulasi yang komprehensif agar pekerja ekonomi digital tidak dirugikan dalam hubungan kerja yang timpang.

“Kalau kita lihat sekilas, apa yang dilakukan Malaysia dan Singapura memang tampak progresif. Malaysia melalui Gig Workers Bill 2025 sudah mengatur larangan praktik tidak adil seperti perubahan tarif sepihak, pemutusan kemitraan sewenang-wenang, atau pembatasan kerja lintas platform,” ujar Arif dalam keterangannya. Selasa, 23 September 2025.

Arif menjelaskan, Malaysia juga memberikan ruang bagi pekerja gig untuk membentuk asosiasi serta ikut berpartisipasi dalam mekanisme negosiasi kolektif melalui tribunal dan dewan tripartit. 

“Namun meski ada perlindungan dasar, pekerja gig tetap tak memperoleh hak-hak penuh seperti pekerja tetap, misalnya upah minimum dan jaminan kerja jangka panjang,” tambah Arif. 

Sementara itu, Singapura menerapkan pendekatan berbeda dengan memperkenalkan status khusus bernama “Platform Workers”. 

Skema ini memberikan perlindungan sosial lebih baik, termasuk iuran pensiun ke Central Provident Fund, asuransi kecelakaan kerja, dan kompensasi medis yang sebagian ditanggung perusahaan platform. 

“Tetapi kelemahannya serupa, pekerja gig tetap tidak memiliki hak perundingan kolektif yang kuat,” kata Arif.

Kondisi di Indonesia lebih mengkhawatirkan.

Berdasarkan penelitian Arif, kurang dari 3,5 persen pekerja gig memiliki jaminan ketenagakerjaan, dan itu pun sepenuhnya ditanggung oleh pengemudi sendiri. 

“Sikap Indonesia sebaiknya berbeda. Jumlah pekerja gig sangat besar, kontribusi mereka vital di sektor transportasi dan logistik, dan konflik industrial dengan platform jauh lebih intens dibanding Malaysia atau Singapura,” tegasnya.

Sejalan dengan itu, Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa menyatakan pemerintah akan mendorong Peraturan Presiden (Perpres) untuk melindungi pengemudi ojol. 

“Yang paling minimal saja misalnya meng-cover kecelakaan dan kematian. Premi bulanan yang perlu dibayarkan hanya Rp16.800,” ujar Saan.

Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menekankan, perjuangan pengemudi ojol tidak hanya soal tarif atau potongan aplikator. 

“Negara juga berkewajiban memastikan adanya perlindungan sosial dan kepastian hukum bagi pekerja kemitraan digital. Semua pengemudi harus masuk BPJS Ketenagakerjaan, termasuk JKK, JKM, dan THR. Iuran JHT memang sukarela, tapi aplikator juga wajib ikut membayar,” kata Edy. 

Edy menambahkan, pengawasan dan penegakan hukum atas Perpres 109/2013 dan Permenaker 5/2021 masih lemah. 

"Kalau aplikator nakal, aturan hanya akan menjadi kata-kata di atas kertas. Hak-hak pekerja harus dijamin negara, termasuk akses jaminan pensiun,” jelas Edy. 

Dengan mencontoh praktik terbaik Malaysia dan Singapura, namun menyesuaikan konteks Indonesia, regulasi ojol bisa menjadi instrumen penting.