Upacara Tiwah Suku Dayak Warisan Budaya yang Masih Hidup

Prosesi upacara Tiwah
Sumber :
  • https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tiwah#/media/Berkas%3ATiwah_suku_dayak%2C_gambar_1.jpeg

Budaya, VIVA Bali – Kalimantan bukan hanya dikenal dengan hutan tropisnya yang lebat, tetapi juga dengan kekayaan tradisi masyarakatnya. Di antara banyak ritual adat yang masih terjaga hingga kini, Upacara Tiwah dari Suku Dayak Ngaju menempati tempat istimewa. Ritual ini bukan sekadar pemakaman, melainkan sebuah perjalanan sakral yang dipercaya mampu mengantarkan arwah menuju dunia abadi.

Bagi orang Dayak, kematian tidak pernah dipandang sebagai akhir. Ia hanyalah gerbang menuju kehidupan baru di alam roh, dan Tiwah menjadi jembatan yang memastikan arwah menemukan kedamaian.

Makna Filosofis Upacara Tiwah

Tiwah bukan sekadar ritual adat, melainkan ekspresi kepercayaan dalam agama Kaharingan, agama asli suku Dayak yang diakui sebagai bagian dari identitas mereka. Melalui Tiwah, keluarga mengantarkan arwah yang telah lama meninggal agar bisa mencapai Lewu Tatau, dunia abadi tempat kebahagiaan roh.

Prosesi ini juga mengajarkan bahwa kehidupan manusia hanyalah persinggahan. Tubuh akan kembali pada tanah, sementara roh harus dibimbing dengan doa, sesaji, dan penghormatan agar perjalanannya tidak tersesat.

Proses Panjang Menuju Dunia Roh

Ritual Tiwah biasanya tidak dilakukan segera setelah seseorang meninggal. Jenazah awalnya dikuburkan terlebih dahulu. Setelah bertahun-tahun, tulang-belulang akan diangkat kembali. Proses ini disebut penggalian ulang, lalu tulang dibersihkan, dihormati, dan akhirnya ditempatkan di sebuah bangunan kecil bernama Sandung Dayak.

Sandung bukanlah makam biasa. Ia dibuat menyerupai rumah kecil dengan ukiran khas Dayak yang penuh simbol spiritual. Di sanalah arwah dipercaya beristirahat tenang, sekaligus tetap dekat dengan keluarga yang masih hidup.

Iringan Musik, Tarian, dan Sesaji

Suasana Tiwah dipenuhi dengan bunyi gong, gendang, dan lantunan doa. Musik tradisional mengiringi tarian sakral seperti Babukung, di mana para penari mengenakan topeng kayu. Tarian ini berfungsi melindungi prosesi dari gangguan roh jahat sekaligus menjadi bentuk penghormatan terakhir bagi yang meninggal.

Di sisi lain, hewan kurban seperti babi atau kerbau diikat pada Sapundu, tiang kayu berukir yang menjadi penanda spiritual. Semakin besar kurban yang diberikan, semakin tinggi pula penghormatan keluarga terhadap arwah leluhur. Semua unsur ini menyatu, menciptakan suasana penuh makna antara kesedihan dan kebahagiaan.

Kebersamaan dalam Ritual

Karena membutuhkan biaya besar, Tiwah sering dilakukan secara gotong royong. Beberapa keluarga bisa menggabungkan prosesi untuk banyak orang sekaligus, sehingga menjadi ajang pemakaman massal. Hal ini tidak hanya meringankan beban, tetapi juga memperkuat solidaritas komunitas.

Dalam momen itu, desa dipenuhi oleh keluarga besar, kerabat, hingga tamu dari luar daerah. Semua hadir untuk berbagi doa, menyumbang tenaga, atau sekadar menyaksikan ritual yang jarang dilakukan. Tiwah pun menjadi pesta budaya, di mana duka dan sukacita berpadu menjadi satu.

Ritual Tiwah mengajarkan bahwa kematian adalah bagian dari siklus alam yang harus diterima dengan lapang dada. Ia bukan akhir, melainkan jalan menuju kehidupan baru di dunia roh. Melalui Tiwah, kita belajar bahwa penghormatan terhadap leluhur dan alam adalah fondasi dari kehidupan yang selaras.

Di tengah arus modernisasi, Tiwah tetap bertahan sebagai bukti bahwa kearifan lokal tidak pernah lekang oleh waktu. Tradisi ini adalah warisan budaya yang membuat Indonesia semakin kaya, sekaligus pengingat bahwa hidup dan mati selalu berjalan berdampingan.