Ternyata Trauma Bisa “Menular”! Ini Kata Pakar Kesehatan Mental

Ilustrasi orang yang sedang mengalami depresi.
Sumber :
  • https://www.pexels.com/photo/grayscale-photo-of-man-sitting-48566/

Lifestyle, VIVA Bali – Tak semua luka datang dari pengalaman pribadi. Kadang, cukup dengan mendengar cerita pahit dari orang yang kita cintai, kita bisa ikut merasa hancur, takut, atau terbebani secara emosional. Fenomena ini dikenal dengan istilah secondary trauma sebuah kondisi psikologis yang dijelaskan secara mendalam oleh psikiater dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ.

Dalam peluncuran bukunya Pulih dari Trauma di Gramedia Jalma, Jakarta, Minggu (13/7), dr. Jiemi mengungkap bahwa trauma tidak selalu dialami secara langsung. Bahkan, paparan terhadap cerita traumatik orang terdekat saja bisa meninggalkan luka psikologis yang dalam.

“Misalnya saya mendengar ibu saya mengalami hal buruk, atau teman dekat saya bercerita tentang pengalaman traumatis. Kedekatan itu yang membuat kita bisa ikut terluka,” ujar Jiemi.

Secondary trauma atau trauma sekunder adalah kondisi di mana seseorang mengalami gejala traumatis akibat mendengar atau menyaksikan pengalaman traumatis yang dialami orang lain. Gejalanya bisa berupa kecemasan, rasa takut berlebihan, mimpi buruk, hingga perubahan perilaku meskipun tidak mengalami langsung kejadian tersebut.

“Kalau dalam profesi, ini bisa dialami oleh polisi yang menangani kasus pembunuhan, atau psikiater yang tiap hari mendengar kisah menyedihkan pasiennya,” jelas Jiemi.

Namun dalam kehidupan sehari-hari, siapa pun bisa mengalaminya. Terutama jika kita memiliki hubungan emosional yang kuat dengan si pencerita, seperti keluarga pasangan, atau sahabat dekat.

Yang membuat secondary trauma berbahaya adalah sifatnya yang sering tidak disadari. Orang yang mengalaminya bisa merasa lelah, murung, atau bahkan marah tanpa sebab yang jelas. Padahal, hal itu bisa saja akibat dari paparan emosional yang terlalu sering terhadap cerita traumatis orang lain.