Kecanduan Judi Online? Bisa Jadi Bukan Masalah Uang, Tapi Luka Batin!

Ilustrasi orang yang sudah kecanduan judi online.
Sumber :
  • https://www.pexels.com/photo/young-man-smoking-and-using-smartphone-at-night-32938828/

Lifestyle, VIVA Bali – Di tengah meningkatnya kasus kecanduan judi online di Indonesia, psikiater dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ mengungkap fakta menarik yang jarang dibicarakan: kecanduan tersebut bisa menjadi pelarian dari trauma yang tak disadari.

Dalam peluncuran bukunya Pulih dari Trauma di Gramedia Jalma, Jakarta, Minggu (13/7), dr. Jiemi menjelaskan bahwa banyak orang yang terjerumus dalam praktik judi daring sebenarnya sedang mencoba mengobati luka batin dengan cara ekstrem.

“Sebagiannya itu karena trauma. Makanya dia kecanduan berusaha mengisi kesenangan dengan cara ekstrem, karena kalau orang normal, gak butuh intensitas kesenangan sebesar itu,” kata Jiemi.

Menurut psikiater lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta ini, orang dengan trauma emosional biasanya memiliki kebutuhan untuk merasa "baik-baik saja" secara instan. Judi online memberikan jalan pintas: sensasi cepat, harapan menang, dan kegembiraan sesaat. Sayangnya, semua itu hanya bersifat sementara.

“Orang-orang seperti ini butuh kesenangan besar untuk menutupi kekosongan dalam dirinya. Judi jadi cara yang terasa efektif, padahal itu hanya memperparah luka lama yang belum sembuh,” ujarnya.

Jiemi menekankan bahwa berhenti bermain judi bukan berarti seseorang sudah sembuh. Ada kesalahpahaman umum bahwa berhenti berjudi adalah akhir dari masalah, padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.

“Kita gak bisa anggap sembuh itu hanya karena orang berhenti main. Harus dilihat, apakah gejala lain seperti emosi tak stabil, sikap kasar, atau depresi ikut mereda. Kalau tidak, berarti traumanya masih ada,” jelasnya.

Dengan kata lain, abstinensi bukanlah ukuran utama kesembuhan, melainkan harus disertai perubahan perilaku secara menyeluruh dan pemulihan psikologis dari dalam.

Tak hanya berdampak pada pelaku, kecanduan akibat trauma ini juga bisa menyebabkan trauma sekunder pada orang-orang terdekat. Keluarga, pasangan, bahkan anak-anak bisa ikut terluka karena menjadi saksi dari perilaku destruktif yang ditimbulkan oleh kecanduan tersebut.

“Ada yang kita sebut secondary trauma. Orang di sekitar ikut terdampak. Misalnya, keluarga jadi sangat sensitif dan marah hanya dengan melihat konten judi, karena pernah disakiti oleh pengalaman yang sama,” terang Jiemi.

Kecanduan, kata Jiemi, bukan sekadar kelemahan moral atau kurang disiplin. Ia adalah refleksi dari luka terdalam yang belum diobati, dan karena itu perlu ditangani secara profesional. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keluarga dan lingkungan sosial.

“Ini soal menyembuhkan diri, dan menyadari bahwa luka kita bisa menular. Itu sebabnya kita harus mulai dari kesadaran dan mencari bantuan yang tepat,” tutupnya.

Judi online bukan hanya masalah ekonomi atau hukum, ia bisa menjadi gejala dari trauma yang belum selesai. Menyembuhkan kecanduan bukan hanya soal berhenti, tapi juga menata ulang luka batin yang selama ini tersembunyi.

Jika kita ingin membantu orang terdekat yang terjebak dalam lingkaran ini, mungkin sudah waktunya untuk melihat lebih dalam: bukan hanya apa yang mereka lakukan, tapi mengapa mereka melakukannya.