Antara Cinta dan Benci, Hubungan yang Menguras Emosi

Saat cinta dan benci berbagi ruang
Sumber :
  • https://id.pinterest.com/pin/930063760515709805/

Lifestyle, VIVA Bali â€“ Pernah nggak sih kamu merasa sangat mencintai seseorang, tapi di waktu yang sama juga merasa kesal, marah, bahkan benci padanya? Satu hari terasa penuh tawa dan pelukan hangat, lalu besoknya berubah jadi adu argumen dan saling diam-diaman. Kalau kamu pernah atau sedang berada dalam fase ini, besar kemungkinan kamu sedang berada dalam love-hate relationship—sebuah kondisi emosional kompleks yang bikin lelah lahir batin.

Fenomena cinta dan benci yang hadir bersamaan memang bukan hal baru. Bahkan, dalam budaya populer pun sering digambarkan hubungan yang panas-dingin seperti ini seolah penuh gairah dan romantis. Tapi apakah benar hubungan semacam ini sehat dan layak dipertahankan?

Secara psikologis, cinta dan benci adalah dua emosi yang berasal dari bagian otak yang sama, yakni sistem limbik, khususnya amigdala. Hal ini membuat keduanya sering muncul berdampingan, bahkan saling tumpang tindih. Hubungan yang terlalu intens secara emosional rentan menjadi love-hate relationship, terutama bila tidak dibarengi dengan komunikasi yang sehat dan kematangan emosi.

Di awal hubungan, rasa cinta biasanya begitu besar hingga bisa menutupi berbagai kekurangan pasangan. Tapi seiring waktu, ekspektasi yang tidak terpenuhi, perbedaan cara pandang, dan luka dari masa lalu bisa memicu rasa frustasi. Dari situlah benih-benih konflik muncul. Kadang kita masih mencintai, tapi mulai mempertanyakan: "Kenapa aku bisa tahan sama dia selama ini?".

Love-hate relationship sering kali penuh drama. Naik turunnya emosi seperti roller coaster: hari ini sangat dekat, besok bisa saling menjauh. Hal ini membuat tubuh dan pikiran terus bekerja keras untuk menyesuaikan, yang pada akhirnya menyebabkan kelelahan emosional.

Hubungan semacam ini juga bisa memunculkan emotional dependency, atau ketergantungan emosional. Salah satu pihak (atau keduanya) merasa tidak bisa hidup tanpa yang lain, meski tahu hubungan itu menyakitkan. Parahnya, kondisi ini bisa mengikis kepercayaan diri, memicu rasa tidak aman, bahkan memperbesar risiko gangguan kesehatan mental seperti kecemasan atau depresi.

Kabar baiknya, tidak semua hubungan cinta-benci harus berakhir. Selama kedua pihak menyadari adanya pola tidak sehat dan bersedia memperbaikinya, hubungan bisa diselamatkan. Kuncinya adalah komunikasi yang jujur dan terbuka, kesediaan untuk memahami satu sama lain, dan tentunya, batasan yang sehat.

Konseling pasangan juga bisa jadi solusi yang tepat. Dengan bantuan profesional, akar masalah bisa diidentifikasi dan diselesaikan bersama. Kadang, yang dibutuhkan bukan berpisah, tapi belajar cara baru untuk mencintai tanpa menyakiti.

Namun jika konflik terus berulang tanpa solusi, dan salah satu pihak merasa tidak dihargai, diremehkan, atau bahkan dimanipulasi, mungkin saatnya bertanya: apakah bertahan lebih menyakitkan daripada melepaskan?

Cinta seharusnya memberi rasa nyaman, bukan terus-menerus menimbulkan luka. Jika kamu merasa lebih sering menangis daripada tertawa, lebih sering takut daripada tenang, mungkin ini bukan cinta yang sehat. Tidak semua hubungan yang penuh gejolak layak diperjuangkan. Kadang, mencintai diri sendiri lebih penting daripada mempertahankan seseorang yang tak lagi sehat untukmu.

Karena pada akhirnya, hubungan yang baik bukan tentang siapa yang paling kuat menahan luka, tapi siapa yang bisa tumbuh bersama dalam cinta yang sehat.