Keajaiban Alam dan Budaya Pertanian Terasering di Bali

Pertanian terasering di Bali yang menyimpan warisan budaya
Sumber :
  • https://www.istockphoto.com/id/foto/saw

Gaya Hidup, VIVA Bali –Ketika wisatawan berbicara tentang Bali, biasanya yang muncul adalah pantai Kuta, Seminyak, atau Pura Besakih yang megah. Namun, bagi banyak warga lokal, denyut nadi kehidupan Bali justru berdenyut di antara petak-petak sawah yang tersusun indah di lereng-lereng perbukitan atau yang dikenal terasering. Lebih dari sekadar lanskap memesona, terasering adalah simbol ketekunan, spiritualitas, dan keberlanjutan yang sudah mengakar ratusan tahun di Pulau Dewata.

 

Jejak Sejarah dari Masa Lampau

Catatan tertua tentang sistem irigasi di Bali berasal dari abad ke-9, saat raja-raja Bali mulai membangun bendungan dan saluran air untuk mendukung pertanian. Pada abad ke-11, Raja Airlangga dikenal sebagai penguasa yang memperkuat pembangunan sistem subak. Namun, sebagian besar ahli meyakini bahwa terasering sudah ada bahkan jauh sebelum catatan itu, diwariskan secara turun-temurun melalui kearifan lokal.

Menurut Prof. J. Stephen Lansing, seorang antropolog yang meneliti subak selama lebih dari 30 tahun, rahasia keberlangsungan pertanian di Bali terletak pada kemampuan masyarakatnya menyeimbangkan kebutuhan ekologis, ekonomi, dan spiritual dalam satu kesatuan sistem.

 

Subak, Ketika Air Menjadi Jembatan Kehidupan

Subak bukan sekadar pembagian air. Ini adalah organisasi sosial yang mengatur seluruh aspek kehidupan bertani. Setiap petani menjadi anggota subak dan ikut dalam rapat untuk menentukan kapan menanam, memanen, hingga memperbaiki saluran air.

Tak heran, di setiap hamparan sawah terasering, selalu berdiri pura kecil, tempat memohon kepada Dewi Sri. Upacara seperti mapag toya (menyambut air) dan ngusaba nini (syukur atas padi) menjadi perwujudan rasa hormat kepada alam.

 

Terasering sebagai Daya Tarik Wisata

Tegallalang di Ubud mungkin adalah ikon terasering yang paling terkenal di kalangan turis. Di sini, wisatawan bisa duduk di kafe sambil menikmati pemandangan sawah berundak, mencoba ayunan ekstrem, atau berjalan di pematang sambil berfoto. Namun, bagi yang ingin merasakan suasana lebih otentik, Jatiluwih di Tabanan adalah destinasi utama.

Di Jatiluwih, hamparan sawah yang membentang di kaki Gunung Batukaru tak hanya memanjakan mata, tapi juga menenangkan jiwa.

Sayangnya, keindahan ini tidak datang tanpa ancaman. Sejak booming pariwisata, banyak sawah dialihfungsikan menjadi vila, hotel, atau kafe. Data dari Pemerintah Provinsi Bali (2024) mencatat, dalam 20 tahun terakhir, Bali kehilangan lebih dari 20% lahan sawahnya.

Pemerintah daerah dan komunitas lokal kini mulai bergerak. Program revitalisasi subak, sertifikasi pertanian organik, hingga festival sawah diadakan untuk menarik perhatian generasi muda dan wisatawan agar menghargai sawah sebagai warisan, bukan sekadar latar foto.

 

Pelajaran dari Bali untuk Dunia

Terasering Bali bukan hanya soal pertanian. Ia adalah simbol harmoni, keberlanjutan, dan hidup selaras dengan alam. Ketika dunia bergulat dengan krisis iklim, Bali mengajarkan bahwa menjaga lingkungan tidak selalu membutuhkan teknologi canggih, tetapi cukup dengan kebijaksanaan dan gotong royong.

Peneliti seperti Lansing bahkan menyebut subak sebagai contoh “self-organized system” yang berhasil menjaga ekosistem tanpa campur tangan pemerintah pusat atau perusahaan besar. Dunia bisa belajar banyak dari pola sederhana ini, bahwa keseimbangan antara manusia dan alam bukan mitos, melainkan warisan yang harus dirawat.

Saat matahari terbenam di balik sawah bertingkat, gemericik air masih terdengar, para petani masih berkutat di pematang, dan doa-doa masih terlantun di pura kecil di sudut sawah. Bali, di balik gemerlap wisatanya, menyimpan kisah tentang manusia yang berdamai dengan alam. Merawat terasering bukan hanya soal mempertahankan pemandangan indah, tetapi juga menjaga jiwa dari sebuah peradaban.