Memahami Makna Mendalam di Balik Upacara Metatah Bali

Ilustrasi pelaksanaan upacara potong gigi Metatah, Bali.
Sumber :
  • https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Potong.jpg

Tradisi, VIVA Bali – Upacara potong gigi atau metatah merupakan salah satu tradisi penting dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali. Upacara ini bukan sekadar simbol peralihan dari masa remaja menuju kedewasaan, tetapi juga merupakan bentuk penyucian diri dari sifat-sifat buruk manusia. Dalam budaya Bali, gigi yang diasah melambangkan enam musuh dalam diri manusia, yaitu nafsu, amarah, keserakahan, kebingungan, mabuk, dan kecemburuan. Dengan melakukan potong gigi, seseorang dianggap telah siap untuk mengendalikan sifat-sifat tersebut dan menjadi pribadi yang lebih matang secara spiritual.

 

Menurut situs resmi Kementerian Keuangan, upacara ini biasanya dilakukan oleh umat Hindu Bali yang telah beranjak dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai syarat menuju kedewasaan spiritual. Acara potong gigi biasanya dilaksanakan sebelum seseorang menikah, karena dipercaya bahwa seseorang belum dianggap benar-benar “manusia dewasa” sebelum menjalani ritual ini. Dalam praktiknya, upacara ini dilakukan oleh seorang pendeta Hindu yang mengasah enam gigi bagian atas menggunakan alat khusus, disertai doa-doa dan persembahan yang sarat makna simbolik.

 

Sementara itu, Bali.com menjelaskan bahwa potong gigi bukanlah prosesi yang menakutkan seperti namanya. Sebaliknya, momen ini justru dipenuhi rasa bahagia dan kebersamaan keluarga. Orang tua memegang peran penting dalam upacara ini karena merekalah yang membiayai dan mempersiapkan seluruh kebutuhan ritual, mulai dari sesajen, busana adat, hingga jamuan untuk para tamu. Momen metatah sering kali menjadi ajang perayaan besar di rumah, disertai musik gamelan, doa bersama, dan suasana penuh sukacita.

 

Di balik suasana meriah itu, makna filosofisnya sangat dalam. Upacara ini mengajarkan manusia untuk tidak diperbudak oleh hawa nafsu dan emosi negatif. Dalam kepercayaan Hindu Bali, keenam gigi yang diasah menjadi simbol transformasi diri, dari kehidupan yang dikuasai oleh keinginan duniawi menuju kehidupan yang lebih selaras dengan nilai-nilai dharma. Melalui proses ini, seseorang belajar bahwa menjadi dewasa bukan hanya soal usia, tetapi juga tentang kesadaran diri dan kemampuan untuk menahan diri dari sifat-sifat destruktif.