Kerik Gigi Suku Mentawai, Antara Identitas Budaya dan Risiko Kesehatan
- https://nationalgeographic.grid.id/read/13939751/harus-menahan-sakit-inilah-tradisi-kerik-gigi-bagi-wanita-mentawai?page=all
Budaya, VIVA Bali – Indonesia memiliki beragam tradisi unik yang diwariskan turun-temurun, salah satunya adalah tradisi kerik gigi yang dilakukan oleh perempuan Suku Mentawai. Tradisi ini bukan sekadar praktik estetika, tetapi juga memiliki makna spiritual, sosial, sekaligus identitas budaya yang melekat kuat pada masyarakat Mentawai.
Namun, riset terbaru menunjukkan bahwa tradisi ini membawa dampak serius bagi kesehatan gigi dan mulut perempuan yang melakukannya.
Apa Itu Tradisi Kerik Gigi?
Kerik gigi merupakan proses meruncingkan gigi bagian atas dan bawah sehingga menyerupai gigi ikan hiu. Tradisi ini biasanya dilakukan pada perempuan Mentawai yang memasuki usia remaja. Selain dianggap sebagai simbol kecantikan, tradisi ini juga diyakini sebagai bentuk pengendalian diri dari enam sifat buruk manusia atau Sad Ripu: hawa nafsu, tamak, marah, mabuk, iri hati, dan bingung.
Prosesnya dilakukan oleh sikerei, yaitu tokoh spiritual yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat Mentawai. Uniknya, pengerikan dilakukan tanpa pembiusan dengan alat sederhana dari kayu atau besi, sehingga sering menimbulkan rasa sakit luar biasa.
Dampak pada Kebersihan Mulut
Penelitian yang dilakukan oleh Azizah Rahma Tita (2024) menemukan bahwa tradisi kerik gigi memiliki kaitan erat dengan kondisi kebersihan mulut yang buruk dan tingginya angka karies.
1. Kebersihan mulut buruk
Skor indeks OHI-S berada pada rentang 4,8–5,9.
2. Karies sangat tinggi
Rata-rata indeks DMF-T mencapai 24,125, dengan kasus karies antara 8–31 gigi per responden.
3. Kehilangan gigi
Beberapa responden kehilangan 4–20 gigi, tanpa adanya tindakan medis seperti tambalan .
Hasil ini memperlihatkan bahwa meskipun kerik gigi memiliki makna budaya, tradisi tersebut berdampak serius pada kesehatan gigi perempuan Mentawai.
Tradisi vs Modernisasi
Seiring arus modernisasi, tradisi kerik gigi mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat. Namun, di daerah Siberut Selatan yang dikenal sebagai “Bumi Sikerei" tradisi ini masih bertahan.
Sayangnya, perubahan bentuk gigi akibat pengerikan membuat pembersihan mulut semakin sulit. Hal ini mengakibatkan penumpukan plak, kalkulus, hingga infeksi pada rongga mulut. Kondisi tersebut berpotensi menurunkan kualitas hidup masyarakat yang masih menjalani tradisi ini.
Pelestarian budaya penting, tetapi perlu ada keseimbangan dengan pendekatan medis dan edukasi kesehatan agar masyarakat tetap bisa menjaga identitas budaya tanpa mengorbankan kesehatannya.