Tentang Wabah dalam Manuskrip Aceh

Naskah bertumpuk, wabah hilang bentuk
Sumber :
  • https://unsplash.com/id/foto/close-up-tumpukan-kertas-di-atas-meja-KKHs1e2yiwc?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash

Tradisi, VIVA BaliDi sudut-sudut desa Aceh, tersimpan warisan kertas tua yang sudah rapuh dimakan usia. Lembarannya mungkin terlihat kusam, tinta sebagian memudar, tetapi di balik itu tersimpan kisah yang relevan hingga hari ini. Ia bicara tentang wabah yang pernah melanda masyarakat Aceh di masa lalu.

 

Sebuah penelitian filologi mengungkap bahwa manuskrip-manuskrip Aceh tidak hanya berisi tafsir agama, hukum, atau hikayat. Di antara barisan huruf Jawi, ternyata terselip catatan-catatan tentang penyakit menular. Ragam jenis dari kolera, cacar, hingga tha’un, istilah yang sering merujuk pada wabah mirip pes.

 

Bagi orang Aceh kala itu, wabah bukan sekadar musibah biologis. Ia dipahami sebagai ujian spiritual, bahkan kerap dikaitkan dengan dosa kolektif atau pertanda murka Tuhan. Karena itu, solusi yang ditawarkan manuskrip berlapis-lapis. Diawali dari doa-doa tolak bala, wirid tertentu, hingga anjuran menjaga kebersihan lingkungan dan pola hidup sehat sesuai pemahaman zaman.

 

Yang menarik, teks-teks kuno itu menggambarkan bagaimana masyarakat Aceh memadukan ikhtiar religius dengan praktik tradisional. Ada catatan tentang pengasingan bagi yang sakit, larangan berkumpul di tempat ramai, hingga penggunaan ramuan herbal untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Sekilas, apa yang dilakukan nenek moyang Aceh tak jauh berbeda dengan praktik karantina dan pencegahan yang kita kenal pada era pandemi modern.