Pertunjukan Jaran Sanghyang Bali, Tarian Sakral di Atas Api

Ilustrasi pertunjukan tarian Jaran Sanghyang di atas bara api
Sumber :
  • https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Sanghyang_jaran.jpg

Tradisi, VIVA BaliBali bukan hanya terkenal dengan tari kecak atau legong yang kerap jadi tontonan wisatawan. Di balik gemerlap panggung pariwisata, ada tradisi sakral yang jauh lebih tua dan penuh makna spiritual, salah satunya adalah Jaran Sanghyang. Tarian ini tidak ditujukan untuk hiburan, melainkan untuk kepentingan ritual, terutama saat masyarakat menghadapi masa-masa sulit.

Dalam tradisi Bali, Jaran Sanghyang dipandang sebagai tari sakral untuk menolak bala. Para penarinya biasanya adalah laki-laki yang menunggangi kuda-kudaan sederhana dari pelepah daun kelapa. Uniknya, meski perlengkapan tari terlihat sederhana, prosesi ritualnya sangat serius. Penari seringkali dalam kondisi trans atau kesurupan, lalu menari bebas sambil menunggangi kuda-kudaan itu, bahkan berjalan tanpa alas kaki di atas bara api. Seperti yang ditulis Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, tarian ini biasanya digelar saat masyarakat menghadapi wabah atau situasi yang dianggap mengganggu keseimbangan hidup.

Jaran Sanghyang juga memiliki keterkaitan erat dengan upacara adat. Misalnya di Desa Bungkulan, Buleleng, Sanghyang Jaran dilaksanakan pada saat purnama sasih keenem atau sekitar bulan Desember–Januari. Waktu ini dipercaya sebagai periode rawan datangnya hama dan penyakit, sehingga ritual ini berfungsi sebagai bentuk “penjagaan” alam. Situs resmi Desa Bungkulan mencatat bahwa tarian ini adalah bagian dari upacara nangluk merana, sebuah upacara sakral untuk menangkal gangguan dan malapetaka.

Menariknya, penari Jaran Sanghyang tidak bisa dipilih sembarangan. Menurut keterangan dari masyarakat Bungkulan, biasanya penari dipilih berdasarkan garis keturunan adat atau melalui proses spiritual tertentu. Hal ini memperlihatkan bahwa tarian ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan amanah yang penuh tanggung jawab. Dalam praktiknya, kostum penari sangat sederhana, yaitu hanya kuda-kudaan dari pelepah kelapa dan pakaian tradisional yang tidak rumit. Kesederhanaan itu justru menekankan bahwa inti dari tarian ini adalah kekuatan spiritual, bukan estetika visual.

Jika dilihat sekilas, Jaran Sanghyang mungkin mirip dengan atraksi wisata seperti “kuda lumping” di Jawa. Namun, ada perbedaan mendasar. Kuda lumping kini lebih banyak ditampilkan sebagai hiburan rakyat, sementara Jaran Sanghyang tetap diposisikan sebagai ritual religius yang dijaga kesakralannya. Inilah yang membuatnya memiliki kedudukan istimewa dalam khazanah budaya Bali.

Keberadaan Jaran Sanghyang juga menunjukkan bagaimana masyarakat Bali menjaga hubungan harmonis dengan alam dan dunia spiritual. Tarian ini adalah wujud keyakinan bahwa keselarasan hidup tidak hanya bergantung pada usaha manusia, tetapi juga pada restu alam dan kekuatan tak kasatmata. Seperti yang dijelaskan dalam sumber-sumber lokal, tarian ini bukan hanya “pementasan,” melainkan doa yang diwujudkan dalam gerakan tubuh.

Di era modern, ketika banyak tradisi hanya menjadi tontonan wisata, keberlanjutan tarian sakral seperti Jaran Sanghyang menjadi penting. Ia mengingatkan kita bahwa di balik kesenian, ada nilai spiritual, sosial, dan ekologis yang tidak boleh hilang. Lebih dari sekadar budaya, Jaran Sanghyang adalah cara masyarakat Bali merawat keseimbangan hidup.