Humor dan Kritik Sosial di Panggung Teater Lenong Betawi

Ilustrasi pertunjukan teater Lenong khas Betawi.
Sumber :
  • https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Lenong_Betawi.jpg

Budaya, VIVA Bali – Bicara soal budaya Betawi, sulit rasanya melewatkan tradisi Lenong. Seni pertunjukan ini lahir di tengah masyarakat Betawi sejak awal abad ke-20 dan masih bertahan hingga kini. Sekilas, Lenong terlihat seperti teater komedi rakyat dengan musik pengiring, dialog penuh canda, dan cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun lebih dari sekadar hiburan, Lenong menyimpan jejak sejarah dan nilai sosial yang penting.

Menurut penjelasan dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Lenong pertama kali berkembang pada era 1920-an. Pertunjukan ini dipengaruhi oleh musik gambang kromong, alat musik khas perpaduan budaya Tionghoa dan Betawi. Musik ini menjadi pengiring setia setiap adegan, menciptakan nuansa meriah sekaligus akrab bagi penonton. Di sinilah keunikan Lenong: ia bukan hanya teater, tapi juga sebuah pesta budaya yang melibatkan musik, tawa, dan cerita rakyat.

Secara garis besar, Lenong terbagi menjadi dua jenis. Pertama, Lenong Preman, yang menghadirkan cerita sehari-hari masyarakat kecil dengan humor segar dan kritik sosial. Dialognya penuh improvisasi, sehingga aktor bisa menyesuaikan cerita dengan situasi penonton. Jenis kedua adalah Lenong Denes, yang lebih serius dan biasanya membawakan kisah kerajaan atau bangsawan. Menurut catatan Kemdikbud, Lenong Denes bahkan pernah dianggap pertunjukan eksklusif, lengkap dengan properti dan dekorasi panggung yang lebih mewah, dan pada masa lalu hanya ditampilkan untuk pejabat atau kalangan tertentu.

Hal yang menarik, meski berbeda jenis, keduanya sama-sama menekankan nilai moral. Cerita yang diangkat dalam Lenong sering menyinggung soal keadilan, keberanian, hingga sindiran terhadap perilaku tidak adil dalam masyarakat. Dengan cara ini, Lenong berfungsi sebagai cermin sosial, sehingga penonton bisa tertawa sambil sekaligus merenung. Seperti yang dicatat IKJ, “Lenong adalah seni pertunjukan rakyat yang tumbuh bersama masyarakatnya.” Ia bukan sekadar tontonan, melainkan bagian dari dinamika sosial.

Kekuatan Lenong juga terletak pada interaksi langsung antara pemain dan penonton. Improvisasi membuat penonton merasa dilibatkan, seolah-olah mereka bagian dari cerita. Inilah yang membuat Lenong terasa hidup, bahkan hingga sekarang ketika berbagai bentuk hiburan modern bermunculan. Tidak heran jika banyak festival budaya di Jakarta masih menghadirkan Lenong sebagai atraksi utama.

Lenong juga menjadi bukti bagaimana budaya lokal bisa beradaptasi dengan zaman. Dari sebuah hiburan rakyat sederhana, ia kini berkembang menjadi simbol identitas Betawi yang dibanggakan. Generasi muda pun mulai dilibatkan dalam komunitas-komunitas Lenong agar tradisi ini tidak punah. Pemerintah daerah dan komunitas budaya sering menggelar pertunjukan di ruang publik, membuktikan bahwa Lenong masih relevan di era modern.

Dengan demikian, Lenong bukan hanya warisan budaya, tetapi juga ruang belajar sosial. Ia mengajarkan kita bahwa kritik bisa disampaikan dengan cara ringan, bahwa hiburan bisa sekaligus mendidik, dan bahwa identitas lokal bisa terus hidup jika dijaga bersama. Dari tawa yang lahir di panggung, kita diajak mengingat bahwa budaya adalah jati diri yang layak dirayakan.