Mengulik Nilai Sosial dan Nilai Magis Tradisi Khas Riau Pacu Jalur

Ulik Nilai Sosial dan Magis dari Kebudayaan Riau: Pacu Jalur
Sumber :
  • https://images.app.goo.gl/G36W19aDrhXCfSU86

Gumi Bali, VIVA Bali – Kebudayaan Indonesia

 

Secara umum, pengertian kebudayaan atau udaya merupakan gaya hidup yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat tertentu dari generasi ke generasi berikutnya. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan merupakan seluruh bentuk perilaku manusia serta capaian yang telah diraihnya melalui beragam proses pembelajaran yang tersusun secara teratur dalam kehidupan sosialnya.  

Hadirnya berbagai kebudayaan di Indonesia memiliki beberapa fungsi yang dapat dirasakan oleh masyarakat, seperti sebagai media untuk mempelajari warisan dari nenek moyang, dapat menumbuhkan rasa nasionalisme dan toleransi dalam masyarakat, serta kebudayaan berfungsi sebagai identitas suatu kelompok masyarakat tertentu, sehingga menimbulkan adanya keunikan dengan kelompok masyarakat lain.

 

Sejarah Pacu Jalur—Riau

 

Dalam arti, Pacu Jalur terdiri dari dua kata, yaitu “pacu“ dan “jalur”. Menurut bahasa Indonesia, “pacu” memiliki arti lomba dan “jalur” adalah sampan yang terbuat dari kayu berasal dari hutan dan sesuai dengan syarat tertentu. Pacu Jalur sudah ada sejak abad ke-17 di wilayah Rantau Kuantan, Sungai Kuantan yang kini menjadi wilayah Kecamatan Hulu Kuantan hingga Kecamatan Cerenti, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau. Pada abad ke-17, kendaraan darat belum berkembang dan masih sulit ditemukan.

Alhasil, pengangkutan hasil bumi dilakukan melalui jalur sungai dengan menggunakan perahu atau sampan. Tak hanya mengangkut hasil bumi seperti pisang dan tebu, tetapi alat transportasi tersebut juga digunakan untuk membawa penumpang bahkan jumlahnya bisa mencapai 40 orang dalam sekali perjalanan.

 

Dari kebiasaan tersebut, muncul perahu dengan jalur yang dihiasi berbagai bentuk artistik, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau di bagian lambung atau selembayungnya. Hiasan ini semakin lengkap ditambah dengan beberapa aksesoris pendukung, seperti payung, tali, selendang, tiang, dan lambai-lambai yang digunakan sebagai tempat berdirinya juru mudi. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini beralih fungsi yang utamanya sebagai alat transportasi menjadi sebuah kegiatan perayaan yang dilakukan masyarakat untuk perayaan hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, Tahun Baru Islam (1 Muharram), dan lainnya.

 

 

 

Nilai Sosial dalam Tradisi Pacu Jalur

 

Nilai sosial yang terbentuk dari tradisi Pacu Jalur tercipta karena adanya sistem gotong royong dalam proses pembuatannya. Langkah awal untuk mewujudkan pembuatan jalur, dimulai dengan diadakannya suatu musyawarah kampung. Dalam proses pembuatan jalur dan pacu jalur membutuhkan banyak biaya, pengorbanan waktu, hingga tenaga dan pikiran. Pekerjaan tersebut tidak mungkin dikerjakan sendiri, tetapi memerlukan kerjasama antar masyarakat, termasuk pimpinan jalur, anak pacu, dan pawang jalur. Proses kerjasama ini dapat terlihat dalam acara menurunkan jalur dan menaikkannya dari sungai dengan panjang 25—30 meter.

 

Nilai Magis dalam Tradisi Pacu Jalur

 

Menurut kepercayaan masyarakat, jalur yang terbuat dari kayu dan telah dipilih oleh pawang atau dukun akan selalu menang dalam berpacu seperti Jalur yang kayunya mempunyai mambang (roh halus). Menurut pandangan tradisional, Pacu Jalur adalah pacu antar roh halus (mambang) yang dimotivasi dan dimonitoring oleh ilmu gaib yang dimiliki oleh para pawang atau dukun.

Dalam tradisi tersebut, motivasi kekuatan gaib biasanya disalurkan melalui setangkai mayang pinang yang terus digenggam dan ditarik oleh seseorang yang duduk di haluan depan perahu (haluan) serta oleh tukang onjai yang berdiri sambil berpegangan pada selembayung atau lambai-lambai. Sementara itu, dukun selalu memegang peran dalam menentukan waktu yang dianggap tepat sejak perahu Jalur mulai diturunkan hingga saat perahu diarahkan menuju arena pacu di bagian hulu sungai dengan menggunkan kekuatan mantera-manteranya. Sampai saat ini, sebagian besar masyarakat masih mempercayai nilai magis dari tradisi ini.