Rahasia Tenun Bali yang Hanya Dibuat oleh Perempuan Tertentu
- https://theyakmag.com/wp-content/uploads/2023/10/HOSHINOYA-02.jpg
Budaya, VIVA Bali – Di balik indahnya kain tenun Bali yang sering kita lihat di pasar seni atau pagelaran busana tradisional, ternyata tersimpan cerita menarik tentang siapa yang boleh membuatnya. Bukan hanya soal keterampilan, tetapi juga tentang aturan adat, spiritualitas, bahkan batasan usia dan kesucian tubuh. Inilah rahasia tenun Bali yang hanya boleh dibuat oleh perempuan tertentu.
1. Tenun Cagcag dan Perempuan Sebelum Usia Dewasa
Tenun cagcag adalah salah satu warisan budaya dari Kabupaten Jembrana, Bali, yang sarat dengan nilai historis dan spiritual. Dulu, setiap perempuan di wilayah ini diwajibkan bisa menenun cagcag sebelum ia menstruasi. Proses belajar menenun ini dimulai sejak anak perempuan berusia sekitar 9–10 tahun.
Tenun cagcag bukan hanya soal kain, tapi juga simbol kesiapan seorang gadis untuk memasuki dunia dewasa. Kain hasil tenunannya akan digunakan dalam upacara adat dan pernikahan. Bahkan, kemampuan menenun menjadi salah satu syarat penting seorang gadis agar dianggap “siap menikah.”
Yang menarik, alat tenun yang digunakan sangat sederhana dan tidak menggunakan mesin. Semua dikerjakan manual, memerlukan ketelitian tinggi, kesabaran, dan kekuatan tangan.
2. Kain Bebali dan Syarat Kesucian Perempuan
Tidak semua perempuan di Bali diperbolehkan menenun kain bebali, jenis kain sakral yang digunakan dalam berbagai upacara keagamaan di pura. Ada syarat khusus yaitu hanya perempuan yang sudah menopause (dalam istilah lokal disebut baki) dan anak perempuan yang belum akil balig yang diperbolehkan menenunnya.
Kenapa demikian? Dalam kepercayaan masyarakat Bali, kain bebali merupakan media spiritual yang harus dijaga kesuciannya. Oleh karena itu, perempuan yang sedang dalam masa menstruasi dianggap tidak suci dan tidak boleh terlibat dalam proses pembuatan kain ini.
Kain bebali dibuat menggunakan alat tenun tradisional cagcag. Selain fungsi upacara, motif kain ini biasanya memiliki makna filosofis tersendiri yang berhubungan erat dengan konsep keseimbangan alam dan manusia.
3. Tenun Gringsing dan Teknik Rahasia dari Tenganan
Kain Gringsing jadi souvenir istimewa pada KTT G20
- https://indonesia.go.id/assets/upload/headline/2893080F-0E91-4566-9234-5CD86C5B1612_thumb.jpeg
Tenun Gringsing merupakan satu-satunya kain tenun di Indonesia yang menggunakan teknik ikat ganda (double ikat). Hanya dibuat di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, proses pembuatannya bisa memakan waktu hingga satu tahun lebih.
Yang membuatnya istimewa, seluruh proses, mulai dari pemintalan benang, pewarnaan dengan bahan alami, hingga penenunan dilakukan secara manual oleh tangan-tangan terampil perempuan desa. Warna yang digunakan berasal dari akar mengkudu (untuk merah) dan daun tarum (untuk biru), tanpa tambahan zat kimia.
Karena prosesnya panjang dan sakral, kain Gringsing tidak bisa dibuat oleh sembarang orang. Biasanya hanya para penenun senior dan yang telah mendapat izin secara adat yang diperbolehkan membuatnya.
Kain ini digunakan dalam upacara keagamaan seperti potong gigi (mepandes), pernikahan, dan upacara ngaben. Tidak hanya itu, kain Gringsing juga sudah mendapatkan perlindungan hukum berupa Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis dari Kemenkumham, yang menyatakan bahwa hanya masyarakat Desa Tenganan yang berhak memproduksinya.
Pelestarian Melalui Kaderisasi dan Regenerasi
Untuk mencegah punahnya seni tenun Bali, berbagai upaya pelestarian dilakukan, salah satunya melalui program kaderisasi penenun muda. Generasi muda, baik perempuan maupun laki-laki, dilibatkan dalam pelatihan teknik menenun serta diperkenalkan pada filosofi dan makna budaya dari setiap motif kain.
Beberapa lembaga pemerintah dan komunitas lokal juga telah berkolaborasi mengadakan workshop, lomba menenun, hingga pameran untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kain tenun tradisional.
Bukan Sekadar Produk Tekstil
Kisah tentang siapa yang berhak menenun di Bali menunjukkan bahwa kain bukan sekadar produk tekstil, tapi juga warisan budaya yang penuh makna spiritual dan identitas. Di tangan perempuan-perempuan tertentu, tenun Bali menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan modernitas.