Anak Tiba-Tiba Sulit Diajak Bicara? Waspadai Efek 'Otak Reptil'

Ilustrasi seorang anak sedang dimarahi oleh ayahnya.
Sumber :
  • : https://www.pexels.com/photo/father-talking-to-his-son-4260104/

Lifestyle, VIVA Bali – Ketika seorang anak mulai menjauh dari keluarga, enggan berbicara, dan lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman yang tidak jelas arah pergaulannya, ini bukan sekadar fase “remaja ingin bebas”. Menurut Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., kondisi tersebut bisa menjadi indikasi awal bahwa anak tengah berada di jalur berisiko menuju perilaku menyimpang.

Durasi Reels Ideal Itu 7 Detik, 15 Detik, atau 30 Detik?

“Biasanya yang paling menonjol adalah ketika mereka sudah mulai sulit melakukan kebersamaan dan berkomunikasi dengan keluarga,” ujar Novi dalam diskusi kesehatan di Jakarta, Selasa, 22 Juli 2025, dikutip dari Antara.

Ia menambahkan, salah satu tanda serius lainnya adalah kesulitan anak untuk fokus dalam membangun aktivitas yang bermanfaat, seperti belajar, berkarya, atau bersosialisasi secara sehat.

Legenda WWE Hulk Hogan Tutup Usia, Fans Berduka

Novi menjelaskan bahwa saat anak mengalami tekanan atau stres berat, hormon kortisol dalam tubuh meningkat. Hal ini berdampak langsung pada penurunan fungsi bagian otak yang bertugas untuk berpikir logis dan membuat keputusan (prefrontal cortex). Sebaliknya, amygdala atau “otak reptil” mengambil alih kendali. Otak bagian ini bekerja berdasarkan insting bertahan hidup: melawan, diam, atau lari.

“Ketika anak emosinya dipancing dan merasa terancam, ia akan merespons menggunakan otak reptil, bukan dengan berpikir. Inilah yang membuat anak mudah terlibat kekerasan seperti tawuran,” jelas Novi.

Review A Normal Woman Netflix Indonesia, Film Thriller Marissa Anita Terbaru

Bahkan, lanjutnya, dalam banyak kasus, anak sebenarnya sadar bahwa tindakannya salah, tetapi ia tidak mampu menimbang risiko dan konsekuensinya karena fungsi nalarnya ditekan oleh kondisi emosional.

Sebagai upaya pencegahan, Novi menyarankan agar anak diberi stimulasi aktivitas fisik yang rutin seperti olahraga, bermain di luar, atau kegiatan sosial yang sehat. Kegiatan ini membantu melepaskan ketegangan emosional dan menurunkan kadar stres dalam tubuh.

Selain itu, dialog yang hangat dan terbuka bersama orang-orang terdekat khususnya orang tua adalah kunci penting untuk membangun kembali kekuatan berpikir anak.

“Dengan banyak aktivitas fisik dan sosial, lalu diseimbangkan dengan dialog bersama orang-orang dekatnya, anak bisa kembali menggunakan otak nalarnya. Masalah pun bisa diselesaikan dengan logika, bukan emosi,” kata Novi.

Novi mengingatkan bahwa banyak orang tua baru sadar setelah anak terlanjur terlibat dalam kekerasan atau tindakan kriminal. Padahal, jika lebih peka, tanda-tandanya sudah muncul sejak lama.

Tanda-Tanda Anak Mulai Berisiko:

Menarik diri dari keluarga, jarang bicara

Sulit fokus atau tampak tidak tertarik pada kegiatan positif

Sering emosi, mudah tersinggung, atau murung

Dekat dengan kelompok teman yang agresif atau negatif

Tidak punya rutinitas sehat dan aktivitas yang jelas

Langkah Pencegahan yang Bisa Dilakukan Orang Tua:

Bangun kebiasaan ngobrol santai setiap hari

Beri anak ruang untuk bercerita tanpa dihakimi

Ajak anak olahraga atau bermain di luar rumah

Validasi perasaan anak agar mereka merasa dimengerti

Beri contoh dalam mengelola stres dan emosi secara sehat

Anak tidak serta-merta menjadi pelaku kejahatan. Banyak dari mereka hanya sedang terjebak di tengah tekanan emosional dan kehilangan arah. Tugas orang tua adalah menjadi jangkar yang menguatkan, bukan ombak yang menenggelamkan.