Makan Patita Dari Meja Panjang Hingga Ikatan Persaudaraan Orang Maluku
- https://unsplash.com/id/foto/meja-penuh-dengan-makanan-OQKkA6kerUU
Budaya, VIVA Bali –Di tepi jalan utama Negeri Batumerah, Ambon, meja-meja panjang disusun rapat. Piring berisi ikan bakar, sagu, singkong rebus, dan sayur mayur tradisional tersaji berderet,
menunggu disantap bersama. Hari itu, warga Batumerah tidak sendiri. Saudara adat mereka dari Negeri Passo dan Ema turut hadir dalam sebuah tradisi bernama Makan Patita.
Makan Patita bagi orang Maluku bukan hanya makan bersama, melainkan momen yang menyatukan nilai pela gandong persaudaraan abadi antar negeri. Seperti diungkapkan
dalam laman Budaya Indonesia, “Makan Patita adalah pesta makan bersama yang menjadi simbol persaudaraan dan kebersamaan masyarakat Maluku”.
Begitu acara dimulai, tak ada sekat yang membedakan tamu atau pejabat, tua atau muda.
Semua duduk sejajar, menyendok makanan dari hidangan yang sama. Tawa anak-anak bercampur dengan obrolan hangat para orang tua, menciptakan suasana yang sulit ditemukan dalam acara formal.
Antara aroma ikan asap yang khas dan musik tradisional yang mengalun, terlihat betapa Makan Patita menghadirkan kebahagiaan sederhana. “Tradisi ini memperkokoh persatuan dan persaudaraan antar masyarakat Batumerah, Passo, dan Ema,” ujar Penjabat Gubernur Maluku, Sadali Ie, saat menghadiri acara tersebut.
Lebih dari sekadar pesta, Patita menyimpan filosofi mendalam. Duduk bersama di satu meja melambangkan kesetaraan dan keterbukaan. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah semua dianggap saudara. Menurut catatan Jurnal Papua, tradisi ini juga berfungsi sebagai sarana rekonsiliasi sosial dan menjaga kerukunan lintas generasi.
Meski rutin digelar, sejumlah tokoh adat mengingatkan agar Patita tidak sekadar menjadi seremoni. Nilai kebersamaan dan penghormatan terhadap leluhur perlu terus ditanamkan
kepada generasi muda. “Adat makan patita bukan hanya rutinitas tahunan, tetapi pengingat bahwa kita adalah orang basudara,” tegas seorang tokoh masyarakat.
Bagi warga Maluku, duduk di meja Patita bukan sekadar berbagi makanan, melainkan
berbagi kehidupan. Dari sini, persaudaraan dipelihara, kebersamaan dijaga, dan identitas budaya tetap hidup di tengah arus modernisasi.