Manggung di Kafe? Musisi Gak Perlu Bayar Royalti, Ini Penjelasannya

Ilustrasi seorang pria yang sedang bernyanyi di sebuah cafe.
Sumber :
  • https://www.pexels.com/photo/man-playing-guitar-while-singing-2419535/

Jakarta, VIVA Bali – Kabar baik datang bagi para pemusik dan penyanyi yang kerap menghibur pengunjung kafe, restoran, atau tempat makan lainnya. Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Ikke Nurjanah, menegaskan bahwa kewajiban membayar royalti atas lagu-lagu yang dibawakan secara langsung (live performance) tidak dibebankan kepada pemusik atau penyanyi, melainkan kepada pemilik usaha.

 

“Pemusik dan penyanyi tidak dibebankan untuk melakukan pembayaran royalti. Yang wajib memperoleh izin serta melakukan pembayaran adalah pemilik usaha sebagai pengguna lagu di ruang publik,” ujar Ikke saat dihubungi media, Selasa, 5 Agustus 2025, dikutip dari Antara.

 

Penegasan ini merujuk pada ketentuan dalam Pasal 87 ayat 2, 3, dan 4 Undang-Undang Hak Cipta, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa pengguna lagu dan musik di tempat umum seperti hotel, restoran, dan kafe wajib mengantongi izin dan membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

 

Dalam industri musik, istilah performing rights merujuk pada hak untuk memperdengarkan atau menampilkan lagu dan musik secara publik, baik secara langsung maupun melalui media rekaman. LMKN bertugas memberikan lisensi kepada pelaku usaha setelah kewajiban royalti dipenuhi.

 

Menurut Ikke, ketentuan mengenai performing rights ini telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, yang menjadi dasar legal untuk menarik royalti dari tempat usaha yang menggunakan karya cipta lagu.

 

Ikke mengungkapkan bahwa mekanisme penarikan royalti performing rights sudah berjalan hampir satu dekade, namun realisasinya masih belum optimal. Meskipun sudah ada penghimpunan dan pendistribusian, jumlah royalti yang terkumpul belum mencerminkan potensi maksimal dari industri hiburan publik di Indonesia.

 

“Pembayaran royalti PR (performing rights) di kafe dan restoran telah berhasil dihimpun, dikelola, dan didistribusikan walaupun masih jauh dari proyeksi jika mengacu pada potensi dengan asumsi optimal,” jelas Ikke.

 

Ia menambahkan, lagu dan musik selama ini menjadi nilai tambah di tempat-tempat usaha, membantu menciptakan atmosfer yang nyaman dan menyenangkan bagi pengunjung.

 

Menanggapi kekhawatiran sebagian pelaku usaha soal besarnya tarif royalti, Ikke menegaskan bahwa semua tarif performing rights telah disusun berdasarkan kajian mendalam, termasuk mempertimbangkan kondisi sosio-demografis Indonesia.

 

Tarif tersebut juga merujuk pada praktik umum di tingkat regional maupun internasional, sehingga tetap menjunjung prinsip keadilan antara pemilik usaha dan pencipta karya.

 

Ikke menyampaikan bahwa LMKN sangat terbuka untuk berdiskusi dan membantu pelaku usaha dalam memahami proses pembayaran royalti. Komunikasi dan konsultasi bisa dilakukan tanpa dikenai biaya tambahan.

 

“Kami sangat terbuka untuk berkomunikasi, berdiskusi, serta siap memfasilitasi setiap proses dan prosedur tanpa ada niat sama sekali untuk memberatkan dan menyulitkan pengguna,” tegasnya.

 

Dengan adanya kejelasan ini, para pemusik dan penyanyi yang manggung di tempat-tempat umum kini bisa tampil dengan lebih tenang. Fokus mereka hanya pada penampilan dan kreativitas, tanpa perlu khawatir soal royalti.

 

Di sisi lain, pengusaha diimbau untuk menunaikan kewajiban royalti sebagai bentuk penghargaan kepada pencipta lagu yang karyanya dinikmati oleh publik.

 

Musik bukan sekadar hiburan, tetapi juga karya seni yang layak dihargai.