Nenek 90 tahun di Bima Gugat Menantu dan 3 Bank
- Juwair/ VIVA Bali
Kota Bima, VIVA Bali –Seorang nenek bernama Elly Megawati (90 tahun) asal Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) menggugat menantunya dan tiga bank serta satu notaris di Pengadilan Negeri (PN) Raba Bima. Ia menuntut kembali rumah yang dibangun sejak puluhan tahun lalu yang kini dikuasi pihak bank dan bahkan sudah dijual.
"Saya minta kembali rumah saya," harap Nenek Elly ditemui Bali.Viva.co.id di Kantor PN Raba Bima, Rabu sore, 2 Juli 2025.
Nenek Elly mengaku kaget rumah yang ia bangun bersama suami kini sudah dikuasai pihak bank. Bahkan selama ini dirinya sebagai pemilik sah sertifikat rumah tidak pernah ditemui pihak bank untuk mengklarifikasi.
"Anak saya pergi pinjam uang ke bank. Tapi pihak bank tidak pernah datang tanya ke saya apakah sertifikat rumah dikasih atau dia curi. Omong kasarnya begitu," ujar Nenek Elly.
Nenek Elly tidak menampik bahwa sekitar tahun 2005 anak bungsunya bernama Tan Sulaiman lakukan pinjam kredit Rp 500 juta sebagai modal usaha dengan jaminan sertifikat rumah. Kebetulan saat itu dirinya masih tinggal bersama Tan Sulaiman dan istrinya Verawati Goutama yang kini menjadi tergugat.
Namun belakangan pinjaman itu ternyata bukan cuma sekali dengan angka yang lebih besar. Bahkan kini utangnya membengkak hingga Rp5,5 miliar.
"Awalnya memang saya suruh pinjam Rp 500 juta. Selebihnya saya tidak diberitahu," ungkapnya.
Nenek Elly menjalani sidang perdana di PN Raba Bima didampingi kuasa hukum dan anak cucunya. Sidang yang berlangsung 2 jam itu penggugat menghadirkan tiga saksi, yakni anak angkatnya, tetangga dekat dan keponakan.
Kuasa hukum Elly Megawati, Gede Arya Surya Putra gugatan ini diajukan atas dugaan perbuatan melawan hukum yang melibatkan menantunya bernama Verawati Goutama, Notaris/PPAT bernama Bq Haniyah, Bank BNI, Bank Danamon dan Bank Indonesia Perwakilan NTB.
"Pihak-pihak ini diduga telah melakukan pengalihan, pembengkakan kredit tanpa persetujuan klien kami, yang menggunakan jaminan berupa tanah dan bangunan harta waris atas nama klien kami juga dugaan kelalaian pengawasan," tegasnya.
Gede Arya mengungkapkan, objek sengketa dalam gugatan perdata ini yakni sebidang tanah bersertifikat hak milik seluas 223 meter persegi dan bangunan rumah toko di Jalan RS Kaharuddin, Kelurahan Paruga Kecamatan Rasakan Barat Kota Bima yang dijadikan jaminan kredit.
"Aset-aset itu digunakan tanpa hak dan menimbulkan utang, serta telah dijual,” tandasnya.
Gede Arya menjelaskan awal mula kasus tersebut. Dia menceritakan, awalnya Elly bertempat tinggal dan hidup bersama anaknya Tan Sulaiman dan istrinya Verawati Goutama.
"Pada saat suami klien kami sakit keras, Tan Sulaiman meminta menjaminkan harta waris tersebut sebagai jaminan pinjaman kredit sebesar Rp 500 juta, sebagai modal usaha bersama istrinya," katanya.
Permintaan itu disetujui oleh Nenek Elly. Namun belakangan tanpa sepengetahuan atau persetujuan diri Nenek Elly, nilai utang membengkak dan aset itu telah terjual ke salah pengusaha bernama Sony Wijaya.
Pembengkakan pinjaman melalui mekanisme top up itu dilakukan secara diam-diam. Bahkan hingga terjadi perpindahan kredit (cessie) ke Bank Danamon, tanpa pemberitahuan ke Elly.
“Klien kami merasa ditipu dan dimanfaatkan,” ungkapnya.
Ia menilai, tindakan tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian perbankan, serta mencederai hak kliennya sebagai pemilik sah objek jaminan.
"Tan Sulaiman sendiri telah meninggal dunia tahun 2020, tanpa memberi pesan kepada klien kami (Ibunya) dan tiga saudaranya bernama Tan Sudarmin, Tan Sunharlin dan Tan Sukanto," tuturnya.
Tepat di tahun 2023, Nenek Elly dikagetkan adanya pemberitahuan Bank Danamon, bahwa jaminan yang ada di Bank BNI sudah dikuasai dan akan menjualnya, karena adanya kredit macet dan hutang Tan Sulaiman sudah membengkak.
Diketahui, gugatan yang menyeret dua bank besar dan Bank Indonesia Perwakilan NTB ini diduga ada kelalaian dan kealpaan pengawasan dari terhadap proses cessie yang melibatkan bank-bank tersebut.
Penggugat nenek Elly merasa tidak pernah dilibatkan atau diberitahukan sebagai pemilik agunan. Baik dari pihak bank, notaris, maupun debitur yang tersisa setelah Tan Sulaiman meninggal pada 2020.