Generasi Z dan Tantangan Dunia Kerja  Antara Ambisi dan Realita

Gen Z bekerja dengan gaya fleksibel dan digital.
Sumber :
  • https://www.tanotofoundation.org/en/news/gen-z-challenges-and-opportunities-for-indonesia/

Lifestyle, VIVA BaliGenerasi Z—yang terdiri dari mereka yang lahir antara 1997 hingga awal 2012—kini mulai mendominasi dunia kerja. Di Indonesia, jumlah mereka mencapai hampir 75 juta jiwa atau sekitar 27,9% dari total populasi. Sebagai generasi yang dibesarkan dalam era digital dan keterbukaan informasi, Gen Z tampil sebagai pekerja muda yang melek teknologi, berani beropini, dan sangat peduli pada nilai personal. Namun, ketika mereka memasuki dunia kerja, tidak sedikit dari mereka yang mengalami benturan antara idealisme dan kenyataan profesional.

Gen Z dikenal memiliki ekspektasi tinggi terhadap tempat kerja. Mereka tidak sekadar mencari penghasilan, tetapi juga ingin menemukan makna, keseimbangan hidup, dan lingkungan yang sesuai dengan nilai pribadi. Studi dari Deloitte (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 60% Gen Z memprioritaskan work-life balance, bahkan lebih dari jenjang karier atau gaji tinggi. Namun, realitas dunia kerja seringkali tidak seindah harapan. Banyak perusahaan masih memegang budaya kerja lama yang menuntut loyalitas tanpa fleksibilitas, jam kerja panjang, serta tekanan produktivitas tinggi yang menyebabkan kelelahan fisik dan mental.

Survei Mercer (2023) mengungkapkan bahwa 83% pekerja Gen Z di Asia melaporkan mengalami burnout. Tingginya tekanan kerja, kurangnya dukungan mental, serta ketidakpastian karier pascapandemi membuat banyak dari mereka merasa tidak nyaman. Fenomena quiet quitting, yaitu bekerja sebatas tanggung jawab tanpa semangat berlebih, mulai menjadi tren di kalangan pekerja muda. Bahkan tidak sedikit yang memilih untuk resign dini karena merasa tidak cocok dengan budaya kerja yang tidak transparan atau tidak mendukung pertumbuhan pribadi.

Di Indonesia, tantangan Gen Z tidak hanya datang dari perusahaan, tetapi juga dari sistem pendidikan dan ekonomi nasional. Laporan dari Badan Pusat Statistik (2023) mencatat bahwa banyak lulusan muda kesulitan masuk ke sektor formal karena mismatch antara keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan industri. Akibatnya, banyak dari mereka masuk ke sektor informal atau memilih menjadi freelancer dan wirausaha mandiri.

Sementara itu, perkembangan teknologi dan otomatisasi semakin mempercepat perubahan kebutuhan tenaga kerja. Dunia kerja kini menuntut keahlian yang tidak hanya teknis, tetapi juga soft skills seperti komunikasi, kolaborasi, kreativitas, dan pemecahan masalah. Sayangnya, tidak semua Gen Z siap menghadapi tantangan ini, terutama mereka yang berasal dari wilayah dengan akses pendidikan terbatas.

Meski menghadapi tantangan besar, Gen Z juga membawa harapan baru. Mereka dikenal lebih terbuka terhadap keberagaman, lebih peduli terhadap isu lingkungan, dan menuntut etika kerja yang sehat. Banyak dari mereka yang menilai perusahaan bukan hanya dari gaji, tetapi juga dari komitmen terhadap keberlanjutan, kesetaraan gender, dan inklusi. Gen Z juga menginginkan ruang untuk mengekspresikan diri dan diberi kesempatan untuk belajar langsung di tempat kerja, bukan hanya menjalankan perintah.

Dari sisi perusahaan, tantangan terbesar adalah bagaimana menyesuaikan gaya kepemimpinan dengan karakter generasi ini. Pendekatan otoriter atau hierarki kaku sudah tidak lagi efektif. Gen Z membutuhkan pemimpin yang mampu menjadi mentor, bukan sekadar atasan. Lingkungan kerja yang adaptif, fleksibel, serta memberikan ruang diskusi dan partisipasi akan lebih menarik bagi mereka.