Menilik Fenomena Kelas Menengah Baru, Antara Gaya Hidup dan Ketimpangan

Kelas menengah urban di kawasan bisnis Jakarta
Sumber :
  • https://en.antaranews.com/news/326039/middle-class-resilience-key-to-sustaining-indonesias-economy

Lifestyle, VIVA Bali – Kehidupan kelas menengah di Indonesia kini menjadi sorotan berbagai pihak. Dalam dua dekade terakhir, kelas menengah tumbuh signifikan, ditandai dengan meningkatnya konsumsi domestik, kemudahan mengakses pendidikan tinggi, serta penetrasi teknologi informasi. Namun, di balik euforia tersebut, terdapat fenomena yang memunculkan pertanyaan: apakah pertumbuhan kelas menengah benar-benar menghapus kesenjangan, atau justru menutupi ketimpangan yang semakin dalam?

Menurut laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2023 mencapai Rp72,4 juta atau sekitar Rp6 juta per bulan. Angka ini memberi gambaran adanya peningkatan daya beli masyarakat. Namun, laporan World Bank tahun yang sama menyoroti bahwa pertumbuhan kelas menengah Indonesia sebagian besar masih bersifat rentan. Banyak dari mereka tergolong kelas menengah semu, yaitu individu atau keluarga yang sewaktu-waktu bisa kembali ke bawah garis kemiskinan akibat guncangan ekonomi kecil seperti kehilangan pekerjaan atau kenaikan harga bahan pokok.

Fenomena ini diperkuat oleh data dari Bank Dunia, yang mengklasifikasikan kelas menengah Indonesia dalam kategori "aspirational middle class", yaitu kelompok yang memiliki pendapatan cukup untuk konsumsi non-esensial tetapi belum sepenuhnya aman secara finansial. Dalam laporan tersebut, dikutip dari laman worldbank.org, sebanyak 45% penduduk Indonesia berada dalam kategori ini.

Salah satu faktor yang memperparah kerentanan kelas menengah adalah gaya hidup konsumtif. Akses terhadap kredit konsumsi, aplikasi pinjaman daring, dan tekanan sosial media telah mengubah pola pengeluaran kelas menengah. Konsumsi barang mewah, liburan ke luar negeri, hingga kepemilikan kendaraan pribadi kerap menjadi simbol keberhasilan, bukan lagi sekadar kebutuhan.

Dalam konteks ini, muncul ketimpangan baru yang bersifat kultural. Kelas menengah merasa terdorong untuk tampil seolah berada di level ekonomi atas, walaupun secara struktural mereka masih jauh dari kategori tersebut. Sosiolog Imam B. Prasodjo dalam wawancaranya yang dimuat di CNNIndonesia.com menekankan bahwa mobilitas sosial kelas menengah di Indonesia seringkali tidak didukung oleh ketahanan ekonomi, tetapi lebih karena dorongan simbolik atas status sosial.

Ketimpangan lainnya terlihat pada akses pendidikan dan kesehatan. Sekalipun kelas menengah mampu menyekolahkan anak ke jenjang universitas, biaya pendidikan tinggi yang terus meningkat menimbulkan tekanan finansial yang besar. Begitu pula dengan layanan kesehatan swasta yang sering kali diandalkan, namun belum terjangkau penuh oleh semua anggota kelas ini.

Masyarakat kelas menengah juga rentan terhadap tekanan psikososial. Studi dari Lembaga Demografi FEB UI menyebutkan bahwa beban mental akibat tuntutan gaya hidup, tekanan sosial, dan rasa tidak aman terhadap masa depan menjadi sumber stres baru. Dalam situasi ini, mereka membutuhkan kebijakan publik yang melindungi dan mendukung keberlanjutan sosial-ekonomi mereka.