7 dari 10 Orang Tak Sadar Sedang Depresi, Apakah Kamu Salah Satunya?

Ilustrasi seseorang saat sedang depresi.
Sumber :
  • https://www.pexels.com/photo/person-leaning-on-wall-236151/

Lifestyle, VIVA Bali – Di balik senyuman seseorang, bisa tersembunyi pergulatan batin yang berat. Rasa hampa, kehilangan semangat, hingga keinginan untuk mengakhiri hidup sering kali tidak terlihat dari luar. Ironisnya, ketika seseorang mulai menunjukkan tanda-tanda depresi, mereka justru mendapat stigma: dianggap lemah, manja, bahkan “kurang iman”. Padahal, depresi adalah penyakit yang nyata dan bukan sebuah aib.

Pesan ini disampaikan oleh dr. Adhi Wibowo Nurhidayat, SpKJ-K, seorang psikiater lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dalam diskusi kesehatan mental yang digelar di Jakarta pada Kamis (10/7).

"Kita harus memberikan edukasi bahwa depresi bukan aib, bukan hal tabu. Itu ada di mana-mana, dan wajar terjadi," tegas Adhi.

Menurut dr. Adhi, depresi adalah penyakit kronis yang harus ditangani secara medis. Ia menjelaskan bahwa seseorang bisa dikatakan mengalami depresi jika mengalami “trias depresi”, yaitu:

Hilangnya minat dan kesenangan dalam aktivitas sehari-hari

Mudah lelah secara fisik maupun mental

Perasaan murung, sedih, kosong, atau sering menangis tanpa alasan jelas

Selain itu, gejala tambahan juga sering menyertai, seperti gangguan tidur, gangguan nafsu makan, penurunan gairah seksual, hingga keinginan menyakiti diri sendiri.

“Kalau tiga gejala utama ini berlangsung lebih dari dua minggu, hampir bisa dipastikan itu depresi. Harus segera ditangani,” jelasnya.

Salah satu hambatan terbesar dalam penanganan gangguan jiwa adalah ketakutan akan biaya. Namun, dr. Adhi menegaskan bahwa saat ini pengobatan gangguan mental sudah ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

“Kalau gak punya uang, pakai BPJS. Pemerintah sudah meng-cover obat-obatan anti-depresi, anti-cemas, dan layanan psikiatri,” kata dia.

Dengan fasilitas ini, siapa pun yang membutuhkan bantuan profesional bisa mengakses layanan kesehatan mental tanpa harus khawatir soal biaya.

Jika tidak segera ditangani, depresi bisa berkembang menjadi Treatment Resistant Depression (TRD) kondisi di mana pasien tidak merespons pengobatan standar. Ini bisa memperpanjang masa sakit dan meningkatkan risiko keparahan.

“TRD itu tiga kali lebih lama dari depresi biasa, dan relaps-nya lebih tinggi. Bahkan, risiko bunuh dirinya tujuh kali lebih besar,” ungkap dr. Adhi, yang juga mengajar di Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Itulah mengapa penanganan dini sangat penting. Masyarakat juga perlu menyadari bahwa gangguan mental tidak akan sembuh dengan sendirinya, melainkan harus didukung oleh intervensi medis dan lingkungan yang suportif.

Dalam proses pemulihan, dukungan dari orang terdekat sangat krusial. Bukan hanya menjadi pendengar, tapi juga ikut mendorong penderita untuk mencari bantuan, mengingatkan mereka agar tidak melukai diri, dan hadir tanpa menghakimi.

“Jangan remehkan kekuatan empati. Sekadar mendengar dan hadir bisa sangat berarti bagi mereka yang sedang merasa hancur,” ujar Adhi.

Ia menekankan bahwa tidak semua orang bisa langsung membuka diri, dan justru karena itulah, pendekatan yang sabar dan penuh pengertian harus dikedepankan.

Depresi bukanlah kelemahan. Ia bukan sesuatu yang harus disembunyikan atau dipendam dalam diam. Semua orang bisa mengalaminya, dan semua orang juga berhak mendapat kesempatan untuk pulih.

“Bicara soal kesehatan mental bukan tanda kelemahan, tapi keberanian. Mari hentikan stigma, dan mulai bangun lingkungan yang aman untuk saling mendukung,” tutup dr. Adhi.

Jika kamu atau orang terdekatmu menunjukkan tanda-tanda depresi, jangan tunda untuk mencari pertolongan. Konsultasikan ke layanan kesehatan terdekat, gunakan fasilitas BPJS, dan ingat kamu tidak sendiri, dan kamu bisa pulih.