Fanatik Tapi Gak Realistis? Awas Terjebak Obsesi ke Idola!
- https://www.pexels.com/photo/crowd-of-people-yelling-at-concert-16079187/
Lifestyle, VIVA Bali – Mengidolakan seseorang baik itu musisi, aktor, atlet, hingga tokoh publik adalah hal yang wajar. Tak sedikit orang yang merasa terinspirasi, termotivasi, bahkan menemukan semangat hidup baru lewat karya dan kehadiran figur yang dikagumi. Namun, di balik euforia itu, ada garis tipis yang sering kali terlewati: kekaguman yang berubah menjadi obsesi.
Psikolog lulusan Universitas Indonesia, Teresa Indira Andani, M.Psi., Psikolog, mengingatkan bahwa ketika rasa kagum tidak lagi terkendali, seseorang bisa menunjukkan perilaku yang tidak sehat, baik untuk dirinya sendiri maupun bagi idola yang dikagumi.
"Dalam psikologi, ketika kekaguman berubah menjadi obsesi, bisa muncul pola perilaku yang mengganggu keseimbangan hidup atau relasi sosial," ujar Teresa saat dihubungi ANTARA, Kamis (10/7).
Teresa yang kini berpraktik di Vajra Gandaria, Jakarta, menjelaskan bahwa obsesi terhadap figur publik bisa ditandai oleh beberapa perilaku peringatan. Misalnya:
- Mengabaikan tanggung jawab pribadi demi mengikuti semua aktivitas sang idola
- Merasa marah, kecewa, atau cemburu jika idola tidak merespons harapan atau tidak memenuhi ekspektasi penggemar
- Merasa sangat terikat secara emosional padahal tidak pernah ada interaksi nyata antara keduanya
Hal ini berkaitan dengan konsep dalam psikologi sosial yang disebut parasocial relationship, yaitu hubungan satu arah antara penggemar dan tokoh publik yang terasa nyata bagi penggemar, meski sejatinya tidak saling mengenal secara pribadi.
"Hubungan ini bisa terasa sangat nyata secara emosional bagi penggemar, padahal tidak bersifat timbal balik," ujar Teresa.
Dalam hubungan semacam ini, penggemar bisa merasa seolah punya 'kedekatan' dengan idolanya. Padahal, sang idola bahkan mungkin tidak pernah tahu siapa mereka. Jika tidak disadari, ilusi kedekatan ini bisa membuat penggemar merasa berhak atas perhatian, waktu, bahkan privasi figur publik tersebut.
Teresa menekankan bahwa menyukai seseorang adalah bagian dari ekspresi emosi yang normal. Namun, perlu ditekankan bahwa rasa kagum harus diiringi dengan kesadaran akan batasan dan empati.
Ia memberikan saran bagaimana sebaiknya penggemar mengekspresikan rasa kagum secara sehat, seperti:
- Menyapa dengan sopan
- Memberikan pujian yang tulus
- Meminta foto atau tanda tangan dengan persetujuan terlebih dahulu
"Jika ditolak, kita bisa memilih untuk memahami. Idola mungkin sedang kelelahan, tidak nyaman, atau memang ada aturan yang membatasi," jelas Teresa.
Lebih dari sekadar tindakan fisik, yang terpenting adalah menghormati kenyamanan dan batasan pribadi sang idola. Tidak memaksa interaksi, apalagi dalam kondisi yang tidak aman atau penuh tekanan bagi figur tersebut.
Pada akhirnya, Teresa mengajak semua penggemar untuk melihat idola sebagai manusia biasa bukan tokoh sempurna tanpa batas. Mereka berhak memiliki ruang pribadi, waktu istirahat, dan kehidupan yang bebas dari tekanan ekspektasi penggemar.
"Ekspresi rasa kagum itu wajar, bahkan bisa sangat positif. Tapi lakukan dengan empati dan sadar bahwa hubungan ini tidak simetris," tutupnya.
Mengidolakan bukan berarti memiliki. Cinta sejati sebagai penggemar bukan diukur dari seberapa dekat kita secara fisik, tapi seberapa dalam kita bisa menghormati dan menjaga kenyamanan sang idola.
Rasa kagum bisa menginspirasi. Tapi jika berubah menjadi obsesi, bisa menyakiti. Jangan sampai cinta kita justru membuat idola merasa tertekan.
Karena penggemar yang sejati adalah mereka yang tahu kapan harus mendukung dari jauh dengan hormat, tulus, dan penuh empati.