Cinta atau Manipulasi? Kenali Gaslighting dalam Hubungan

Terjerat Manipulasi, Lupa Diri Sendiri
Sumber :
  • https://id.pinterest.com/pin/69665125480328871/

Lifestyle, VIVA Bali – Hubungan yang sehat seharusnya membuat seseorang merasa nyaman, aman, dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, tidak semua hubungan berjalan seperti itu. Di balik kata-kata manis dan perhatian yang tampak hangat, bisa saja tersembunyi bentuk manipulasi yang sulit dikenali: gaslighting.

Fenomena ini mungkin tidak meninggalkan luka secara fisik, tetapi mampu mengikis kewarasan dan harga diri seseorang secara perlahan. Tak jarang, korban baru menyadarinya setelah terlambat dan terjebak dalam lingkaran hubungan yang penuh tekanan psikologis.

Gaslighting adalah bentuk manipulasi emosional yang membuat seseorang meragukan persepsinya sendiri, bahkan terhadap kenyataan yang jelas-jelas ia alami. Pelaku gaslighting secara sistematis menyangkal kebenaran, menyalahkan korban, dan memutarbalikkan fakta untuk menciptakan keraguan dalam diri korban. Ini bukan hanya soal berbohong—lebih dari itu, gaslighting adalah cara halus tapi mematikan untuk mengontrol pikiran dan emosi seseorang.

Misalnya, ketika pasangan berkata, “Kamu terlalu sensitif,” atau “Aku nggak pernah ngomong kayak gitu,” padahal jelas-jelas ia melakukannya. Lambat laun, korban akan mulai mempertanyakan kewarasan dan menganggap semua yang ia rasakan adalah salah.

Di dalam hubungan romantis, gaslighting sering dibungkus dengan label “cinta” atau “perhatian”. Banyak pelaku menyamarkan kontrol emosional mereka dengan kalimat-kalimat manipulatif seperti, “Aku cuma ingin kamu jadi lebih baik,” atau “Kamu harus nurut kalau memang sayang aku.” Ironisnya, korban pun kadang merasa bahwa apa yang dilakukan pasangannya adalah bentuk kasih sayang. Inilah yang membuat gaslighting begitu berbahaya—ia bekerja dalam diam, memanfaatkan cinta sebagai topeng untuk menutupi manipulasi.

Tanda-tanda bahwa seseorang menjadi korban gaslighting bisa bermacam-macam, namun ada pola yang sering muncul. Korban biasanya merasa tidak percaya diri, sering meminta maaf tanpa tahu kesalahannya, merasa bersalah berlebihan, hingga takut menyampaikan pendapat atau keberatan. Semakin lama, korban bisa kehilangan jati dirinya karena terus-menerus mempertanyakan pikiran dan perasaannya sendiri. Tidak jarang, mereka merasa seolah-olah “gila” dan mulai bergantung secara emosional kepada pelaku.

Gaslighting bukan hanya terjadi dalam hubungan pacaran atau pernikahan, tapi juga bisa muncul dalam relasi keluarga atau pekerjaan. Namun yang paling banyak terjadi, menurut data Komnas Perempuan 2024, adalah dalam relasi romantis dan rumah tangga. Kekerasan emosional, termasuk gaslighting, menjadi salah satu bentuk kekerasan yang paling sulit dikenali karena tidak tampak secara kasat mata. Sayangnya, masyarakat masih banyak yang menormalkan sikap manipulatif dalam hubungan, dengan alasan “laki-laki memang begitu” atau “itu tandanya sayang”.

Menghadapi gaslighting tentu tidak mudah, apalagi jika korban telah terlanjur tergantung secara emosional. Tapi langkah pertama yang penting adalah menyadari dan mengakui bahwa ada yang salah dalam hubungan tersebut. Kesadaran ini bisa menjadi titik balik untuk perlahan-lahan memulihkan diri. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mencatat kejadian-kejadian aneh yang terjadi, berbicara dengan orang yang bisa dipercaya, dan jika perlu, mencari bantuan profesional seperti psikolog atau konselor. Dalam kasus yang lebih serius, menjauh dari pelaku adalah pilihan terbaik demi menjaga kesehatan mental dan keselamatan diri.

Pada akhirnya, cinta seharusnya membuat kita merasa damai, bukan terus-menerus dihantui rasa bersalah atau keraguan terhadap diri sendiri. Jika hubungan membuatmu merasa kecil, salah terus, dan kehilangan kendali atas dirimu, mungkin itu bukan cinta yang sehat, melainkan bentuk manipulasi yang halus namun merusak. Gaslighting bukan hanya sekadar pertengkaran biasa—ia adalah bentuk kekerasan emosional yang serius dan harus dihadapi dengan tegas. Karena setiap orang berhak dicintai dengan tulus, bukan dikendalikan atas nama cinta.