Yang Unik dari Tradisi Perang Timbung di Lombok Tengah
- https://unsplash.com/id/foto/sekelompok-pemuda-berdiri-bersebelahan--lABgVRmaX4?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash
Tradisi, VIVA Bali –Matahari mulai condong ke barat di Desa Pejanggik, Lombok Tengah. Suara kentongan bertalu, menandakan warga bersiap menuju lapangan desa. Di tangan mereka bukan senjata, bukan pula obor menyala, melainkan timbung. Timbung sendiri merupakan sebungkus ketupat yang dibungkus janur kelapa. Sesaat kemudian, ketupat-ketupat itu melayang di udara, dilempar dari satu warga ke warga lain. Suasana riuh, tawa pecah, namun penuh dengan nuansa sakral. Inilah Tradisi Perang Timbung, ritual tahunan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Sekilas, pemandangan itu tampak seperti permainan sederhana. Namun menurut Hidayatullah dan Fauzan yang meneliti tradisi ini, Perang Timbung bukan sekadar hiburan, melainkan memiliki akar sejarah, nilai religius, dan makna sosial yang dalam. Ia merupakan simbol pertemuan antara kearifan lokal Sasak dengan nilai-nilai Islam yang mengakar kuat di Lombok.
Jejak Sejarah di Balik Lemparan Ketupat
Tradisi Perang Timbung diyakini lahir dari kebiasaan masyarakat Sasak dalam memperingati hari besar Islam, terutama Idul Fitri. Setelah berpuasa sebulan penuh, warga saling berbagi ketupat sebagai tanda syukur. Dari kebiasaan itulah muncul ritual melempar timbung secara bersama-sama, yang kemudian berkembang menjadi tradisi sakral dengan makna persaudaraan.
Peneliti mencatat bahwa perang ini tidak pernah dimaknai sebagai permusuhan. Lemparan ketupat adalah simbol berbagi rezeki dan mempererat silaturahmi. Dengan saling lempar, warga menegaskan kembali ikatan kekeluargaan setelah sebulan penuh menjalani ibadah. Salah satu tokoh adat di Pejanggik, di dalam jurnal, bahkan pernah menuturkan bahwa “ketupat yang dilempar bukan untuk menyakiti, tetapi sebagai tanda keakraban yang melebihi kata-kata.”
Simbol Nilai-Nilai Islam
Tradisi ini juga sarat dengan nilai religius. Ketupat atau timbung, yang terbuat dari beras dan janur kelapa, dipandang sebagai lambang kesucian hati setelah menjalani ibadah Ramadhan. Menurut jurnal tersebut, masyarakat mengaitkan janur dengan kata ja’a al-nur yang berarti “telah datang cahaya.” Karena itu, setiap lemparan timbung dipahami sebagai doa agar cahaya kebaikan senantiasa hadir dalam kehidupan bersama.
Di sisi lain, prosesi ini menjadi cara masyarakat lokal untuk memadukan tradisi dengan ajaran Islam. Nilai-nilai seperti syukur, kebersamaan, dan berbagi rezeki tercermin nyata dalam ritual ini. Seorang pemuka agama setempat pernah menegaskan bahwa “Perang Timbung bukan hanya budaya Sasak, tetapi juga sarana dakwah yang menyampaikan pesan Islam dengan cara yang gembira dan membumi.”
Ruang Sosial yang Menyatukan
Lebih jauh, Perang Timbung berfungsi sebagai ruang sosial. Ia mempertemukan seluruh warga tanpa membedakan status, usia, atau latar belakang. Anak-anak, remaja, hingga orang tua ikut serta dalam suasana riang. Ketika ketupat dilempar, tak ada rasa marah meski terkena lemparan. Sebaliknya, semua larut dalam tawa, seakan simbol bahwa perbedaan bukan alasan untuk bermusuhan.
Dalam catatan jurnal, momen ini sekaligus menjadi sarana rekonsiliasi. Jika ada perselisihan kecil antarwarga sebelumnya, Perang Timbung menjadi ruang untuk meleburkan ego. Dengan saling melempar ketupat, mereka menandai bahwa semua perbedaan telah usai, berganti dengan semangat kebersamaan.
Tradisi, Wisata, dan Identitas
Seiring berkembangnya zaman, Perang Timbung juga mulai menarik perhatian wisatawan. Bagi para pelancong, menyaksikan ribuan ketupat beterbangan di udara adalah pemandangan unik dan tak terlupakan. Namun, bagi masyarakat Pejanggik, lebih dari sekadar atraksi budaya, tradisi ini adalah identitas kolektif.
Warga menyadari bahwa globalisasi bisa membuat generasi muda semakin jauh dari budaya leluhur. Karena itu, keterlibatan anak-anak dalam Perang Timbung sangat dijaga. Mereka diajak sejak dini untuk merasakan makna ritual, bukan hanya sekadar bermain ketupat. Kemudian salah satu pemuda setempat, dikutip dalam jurnal, bertutur, “selama Perang Timbung masih ada, kami tidak akan kehilangan jati diri sebagai orang Sasak.”
Warisan yang Hidup
Tradisi Perang Timbung di Pejanggik adalah contoh nyata bagaimana sebuah masyarakat menjaga warisan leluhur dengan cara yang penuh makna. Ia menyatukan unsur sejarah, nilai Islam, dan kebutuhan sosial masyarakat dalam satu perayaan yang meriah. Di balik tawa dan ketupat yang melayang, tersimpan pesan serius: persaudaraan adalah kekuatan terbesar yang membuat komunitas tetap hidup.
Setiap lemparan timbung adalah simbol doa, syukur, dan persatuan. Ia bukan hanya milik Desa Pejanggik, tetapi juga bagian dari wajah kebudayaan Indonesia yang kaya akan tradisi dengan nilai sejarah. Api mungkin menjadi lambang keberanian di Karangasem, tetapi di Lombok Tengah, ketupat menjadi simbol persaudaraan yang tak lekang oleh waktu.