Asta Kosala Kosali, Kearifan Lokal Arsitektur Bali
- https://visitbali.id/property/getting-to-know-architecture-in-bali-in-accordance-with-asta-kosala-kosali
Gumi Bali, VIVA Bali –Di balik keindahan arsitektur Bali yang memukau dunia, tersimpan filosofi mendalam yang tak banyak diketahui orang. Lebih dari sekadar estetika, arsitektur tradisional Bali adalah manifestasi hubungan manusia dengan alam semesta dan dunia spiritual.
Salah satu pilar utama dalam membangun bangunan tradisional Bali adalah Asta Kosala Kosali, konsep tata ruang yang menjadi pedoman, warisan, sekaligus identitas budaya Pulau Dewata.
Dalam setiap jengkal tanah Bali, kita dapat menemukan jejak Asta Kosala Kosali, mulai dari pura megah, rumah adat, hingga lumbung padi sederhana.
Konsep ini bukan hanya soal “aturan membangun,” melainkan sistem kepercayaan yang menempatkan manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari Tri Hita Karana, harmoni antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.
Mengupas Makna Asta Kosala Kosali
Istilah Asta Kosala Kosali berasal dari bahasa Sanskerta. Asta berarti delapan, Kosala berarti tempat atau lokasi, Kosali berarti ukuran atau aturan.
Secara keseluruhan, Asta Kosala Kosali berarti delapan pedoman atau aturan mengenai tempat dan ukuran dalam mendirikan bangunan. Konsep ini menjadi semacam “kitab suci” para undagi atau arsitek tradisional Bali dalam menentukan bentuk, posisi, fungsi, dan ukuran bangunan, baik rumah tinggal, tempat ibadah, maupun fasilitas lain dalam satu kompleks hunian.
Dalam Asta Kosala Kosali, membangun bukan hanya soal membuat rumah indah, tapi rumah yang selaras dengan energi alam dan spiritual.
Filosofi di Balik Asta Kosala Kosali, Harmoni Mikro dan Makro
Asta Kosala Kosali berakar pada kepercayaan bahwa rumah adalah cerminan tubuh manusia (Bhuana Alit) dan juga alam semesta (Bhuana Agung). Setiap bagian rumah diibaratkan bagian tubuh manusia, mulai dari kepala, tangan, perut, hingga kaki. Dengan begitu, rumah bukan sekadar bangunan, melainkan makhluk hidup yang harus diperlakukan dengan hormat.
Contoh penerapannya adalah pembanguan ruang yang terdiri dari Pamerajan (tempat suci keluarga) diibaratkan sebagai “kepala” rumah, berada di sisi kaja-kangin (utara-timur laut) yang dianggap paling suci. Kemudian ada Bale Dangin (paviliun upacara) sebagai “bahu” di sisi timur, Bale Dauh (paviliun tamu) sebagai “tangan kanan” di sisi barat, Paon (dapur) sebagai “alat pencernaan” di sisi selatan atau barat daya.
Susunan ini menciptakan harmoni sanga mandala, konsep pembagian ruang menjadi sembilan area sesuai arah mata angin, dengan pusat sebagai titik sakral. Setiap ruang memiliki energi yang berbeda, harus ditempatkan sesuai hierarki kesucian.
Delapan Aspek Penting dalam Asta Kosala Kosali
Mengapa “Asta” atau delapan? Karena ada delapan aspek utama yang harus diperhatikan dalam penerapannya:
1. Wewangunan, jenis bangunan yang didirikan
2. Taksu, kekuatan spiritual atau aura bangunan
3. Wastu, tata letak sesuai arah dan fungsi
4. Druwe, kepemilikan dan hak atas tanah
5. Murwa, asal-usul atau silsilah keluarga
6. Catur Lawa, empat penjuru arah utama
7. Panca Datu, penggunaan lima logam suci dalam konstruksi (emas, perak, tembaga, besi, perunggu)
8. Panca Maha Bhuta, harmoni lima unsur alam (api, air, udara, tanah, eter)
Semua aspek ini membentuk kesatuan holistik yang saling terkait. Jika satu unsur diabaikan, dipercaya dapat mengganggu keseimbangan energi dalam rumah dan berpengaruh pada kehidupan penghuninya.
Pengukuran Tubuh, Antropometri Tradisional Bali
Keunikan lain dari Asta Kosala Kosali adalah penggunaan satuan ukuran berdasarkan tubuh manusia pemilik rumah. Ini membuat setiap rumah “personal” dan “terkoneksi” dengan energi pemiliknya. Beberapa satuan ukuran tradisional yang digunakan antara lain:
Depa, rentang tangan dari ujung jari ke ujung jari. Hasta, panjang dari siku ke ujung jari. Tungkah, panjang ruas jari. Tapak, panjang telapak kaki
Pengukuran ini melibatkan ritual khusus, di mana undagi akan mengukur langsung tubuh pemilik rumah. Hasilnya, setiap ukuran bangunan menjadi unik dan “terprogram” sesuai karakter pemiliknya.
Aplikasi dalam Tata Ruang Rumah Tradisional Bali
Dalam praktiknya, Asta Kosala Kosali menghasilkan tata ruang yang fungsional sekaligus simbolis. Contoh penerapan dalam rumah tradisional Bali yakni Pamerajan di utara-timur laut sebagai pusat spiritual. Bale Daja (tempat tidur kepala keluarga) di utara Bale Dangin untuk upacara dan menerima tamu kehormatan di timur.
Bale Dauh untuk tamu umum di barat. Bale Delod untuk anak-anak atau tamu sementara di selatan. Jineng (lumbung padi) di selatan.Paon (dapur) di selatan-barat daya. Lumbung dan kandang ternak di barat daya atau selatan
Semua posisi ini bukan hanya mempertimbangkan fungsionalitas, tetapi juga kesucian arah, energi alam, dan kepercayaan kosmologi.
Ritual dalam Proses Pembangunan
Penerapan Asta Kosala Kosali tidak lepas dari berbagai upacara dan ritual. Mulai dari nyukat karang (pengukuran tanah secara spiritual), mecaru (upacara pembersihan lokasi), hingga mendak taksu (memohon restu kekuatan spiritual).
Bangunan dianggap “berjiwa” sejak awal, sehingga perlu disucikan melalui serangkaian prosesi. Membangun rumah di Bali tidak cukup dengan semen dan batu bata, namun perlu doa, restu leluhur, dan persembahan.
Asta Kosala Kosali di Era Modern: Bertahan atau Berubah?
Kini, banyak hunian modern di Bali yang mengabaikan Asta Kosala Kosali demi mengejar efisiensi, estetika Barat, atau kepentingan komersial. Namun, sejumlah arsitek dan keluarga Bali tetap berusaha mempertahankannya, meski dengan adaptasi.
Contohnya, beberapa vila modern tetap menempatkan pura keluarga di kaja-kangin, atau tetap memanfaatkan konsep sanga mandala dalam pembagian ruang. Material modern seperti kaca, baja, dan beton mulai dipadukan tanpa mengorbankan prinsip dasar Asta Kosala dipertahankan. Yang harus dipertahankan bukan bentuk fisiknya, melainkan filosofi harmoni dan kesakralan ruang.
Asta Kosala Kosali adalah bukti betapa kaya dan mendalamnya kearifan lokal Bali. Konsep ini mengajarkan bahwa rumah bukan sekadar bangunan fisik, melainkan ruang sakral yang menjadi penghubung manusia dengan alam, leluhur, dan Tuhan.
Dalam dunia yang semakin pragmatis dan serba cepat, Asta Kosala Kosali mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan, bukan hanya dalam membangun rumah, tetapi juga dalam menjalani hidup.
Mungkin, di tengah gempuran modernisasi, kita justru perlu kembali memaknai Asta Kosala Kosali—agar rumah tak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga tempat kita menemukan diri, keluarga, dan hubungan dengan yang lebih besar.